Monday, January 12, 2009

BlankOn Linux 3 “Lontara”, Linux Cita Rasa Indonesia

Oleh: Restituta Ajeng Arjanti


Minggu (27/4) lalu, Yayasan Penggerak Penggerak Linux Indonesia (YPLI) dan Komunitas Ubuntu Indonesia merilis distribusi BlankOn Linux versi 3.0 yang diberi nama "Lontara".


Linux sebagai alternatif bagi pengguna yang emoh menggunakan sistem operasi berbayar ternyata cukup diminati di Indonesia. Pun komunitasnya di dalam negeri cukup aktif mengembangkan distro yang sesuai bagi pengguna Indonesia. Ini terbukti dengan kemunculan BlankOn Linux, hasil pengembangan secara terbuka oleh YPLI dan komunitas Linux Indonesia sejak tahun 2004.


BlankOn Linux


Ketua YPLI, Rusmanto, menjelaskan sedikit tentang sejarah pengembangan BlankOn Linux. Mulai dikembangkan pada 2004, BlankOn Linux versi 1 dirilis pada 2005 sebagai turunan dari Fedora Core 3. Setahun kemudian, update-nya, versi 1.1, menyusul.


Pada 2007, BlankOn Linux 2 dirilis dengan nama sandi “Konde”. Menyusul Konde, akhir April lalu BlankOn Linux 3 alias Lontara akhirnya dirilis bagi pengguna Linux Tanah Air. Berbeda dengan versi pertama, oleh YPLI dan Komunitas Ubuntu Indonesia, Konde dan Lontara dikembangkan sebagai turunan dari Ubuntu. Lontara sendiri dikembangkan dari Hardy Heron, Ubuntu paling gres yakni versi 8.04.


Dari sekian banyak distro Linux, kenapa memilih Ubuntu sebagai “akar” Konde dan Lontara? Disodori pertanyaan tersebut, Rus—sapaan akrab Rusmanto—menjawab, “Karena komunitas Ubuntu adalah yang terbesar di seluruh dunia dan paling diminati, termasuk di Indonesia. Selain itu, dukungan dan promosi dari perusahaan pengembang Ubuntu, Canonical Ltd., juga sangat besar.”


Perlu Anda tahu, distribusi Ubuntu memang cepat dan mudah. Pengguna yang tertarik bisa mengunduh Ubuntu dari situs pengembangnya secara gratis, atau memesan CD instalasinya dengan cukup membayar ongkos kirimnya.


Distro Nasionalis


Rasanya tak salah jika kita menyebut BlankOn sebagai distro Linux nasionalis. BlankOn (dibaca blangkon, tutup kepala pria, bagian dari pakaian adat Jawa) memang mengusung ciri nasional, khas Indonesia. Itu bisa dilihat dari penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama, logo yang bergambar blangkon, dan nama sandi yang diberikan untuk BlankOn Linux 2 dan 3 (Konde dan Lontara).

Menurut Rus, untuk BlankOn 3, kata “Lontara” diambil dari nama aksara tradisional Bugis, Makassar. Agar ciri Indonesia makin tampak, Lontara juga menampilkan background atau theme bergambar perahu layar Phinnisi asal Makassar.


Lebih Baik


Secara umum, tampilan Lontara tak jauh dari Ubuntu. Yang membuatnya tampil sedikit beda adalah background perahu Phinnisi-nya. Versi sebelumnya hanya menampilkan background yang polos. Lalu, apa kelebihan BlankOn Linux 3 ketimbang dua kakaknya?


Lontara hadir dengan dua opsi, versi minimalis dan versi standar. Beda dengan BlankOn Linux 1 dan 2 yang hanya dirilis dalam satu versi, standar.


Apa yang membedakan kedua versi tersebut? “Versi minimalis bersifat lebih ringan daripada versi standar dan mendukung pemakaian di komputer-komputer lama”, jelas Rus. Yang dimaksudnya sebagai komputer lama adalah komputer dengan spesifikasi rendah, misalnya komputer yang memiliki RAM 128MB. “Versi standar bisa berjalan di komputer yang lebih modern, yang spesifikasinya lebih tinggi, minimal pada komputer dengan RAM 256MB”, Rus menambahkan.


Inilah kelebihan paling menonjol yang membedakan Lontara dengan dua pendahulunya: ia menawarkan kemudahan dalam mengakses fitur multimedia. Penggunannya bisa dengan mudah memutar DVD, atau memutar file MP3 dengan aplikasi Rythm Box. Selain itu, Lontara juga dilengkapi dengan peranti lunak akuntansi dan project management. Semua peranti itu dibundel dalam CD Lontara dan bisa diinstal ke dalam komputer—sangat sesuai dengan pengguna Indonesia yang tak mau repot mengunduh aplikasi lewat internet.


Daluang


Daluang menambah daftar keunikan Lontara. Aplikasi ini—saat ini masih bersifat trial—mirip dengan kamus online Wikipedia. Fungsinya untuk membantu pengguna melakukan pencarian informasi. Namun, untuk menggunakan Daluang, pengguna Lontara tak perlu terhubung dengan internet. Mengusung ciri Indonesia, selain menampilkan bahasa Indonesia, Daluang juga menampikan beberapa versi bahasa daerah. Di antaranya bahasa Jawa dan Sunda.


Berhubung sifatnya yang tidak online, akses Daluang sepertinya dapat terbentur masalah update—tidak seperti Wikipedia yang bisa di-update oleh siapa saja dan update-nya bisa diakses siapa saja. Update Daluang masih bergantung pada pihak pengembang. Rus menyampaikan, mungkin, jika ada, update dari aplikasi ini akan didistribusikan untuk diunduh via situs web BlankOn.


Daluang hanya ada pada Lontara versi minimalis Alasannya, menurut Rus, versi “light”—merupakan versi standar minus beberapa aplikasi dan fungsi—masih bisa dimasuki dengan aplikasi baru (Daluang). Sedangkan versi standar sudah terlalu penuh sehingga tak bisa ditambahi aplikasi lain lagi.


Open Source (Semoga) Makin Mantap


Rusmanto menyampaikan, untuk memromosikan BlankOn Linux, YPLI melakukan roadshow dan menyebarkan CD ke seluruh Indonesia—kecuali wilayah Irian yang belum terjangkau. Dalam waktu dekat, YPLI akan mengadakan roadshow ke wilayah Sulawesi Tenggara, Banda Aceh, dan Nusa Tenggara Barat.


Kehadiran BlankOn Linux 3 yang sudah lebih matang semoga makin memantapkan gerakan open source di Tanah Air. Antarmuka yang makin ramah seharusnya bisa mendorong para pengguna komputer untuk beralih dari sistem operasi tertutup dan berbayar—apa lagi yang bajakan—ke sistem terbuka dan lebih murah.


Anda tertarik untuk menjajal Lontara, sekalian menyukseskan program open source? Kalau iya, Anda bisa mengunduhnya dari www.BlankOnLinux.or.id.


Artikel ini dibuat untuk QBHeadlines.com.



Labels: ,

Boemboe untuk Film Pendek Indonesia

Oleh: Restituta Ajeng Arjanti

Bicara tentang film-film dalam negeri, beragam pendapat bisa dikumpulkan. Ada yang suka, banyak pula yang kecewa lantaran banyak film “latah” yang lagi-lagi mengangkat tema seputar horor, komedi seks, atau drama percintaan. Namun, di luar industri film berorientasi profit itu, lumayan banyak kelompok pecinta film yang cukup mumpuni berkreasi membuat film di luar pakem komersil, dengan ide sederhana namun tak biasa.

Boemboe dan “Indonesia Kecil”

Jangan salah. Boemboe bukan komunitas pembuat film pendek. Boemboe adalah organisasi non-profit yang fokus pada promosi dan distribusi film pendek Indonesia. Organisasi ini dibentuk tanggal 11 April 2003 oleh Lulu Ratna dan Amin Shabana. Baru kemudian, pada 2007, Ray Nayoan bergabung bersama Boemboe.

Organisasi ini boleh dibilang unik. Anggotanya cuma tiga orang—Lulu, Amin, dan Ray. Ketika ditanya kenapa, Lulu Ratna, menjawab, “Boemboe memang dibentuk bukan sebagai organisasi yang menerapkan sistem membership. Anggotanya cuma tiga karena kami ingin melawan model komunitas yang ada di Indonesia. Menurut kami, organisasi yang lebih kecil justru lebih efektif.”

Secara singkat, lulusan Universitas Indonesia jurusan Antropologi itu menjelaskan, untuk tujuan promosi dan distribusi film pendek, Boemboe bekerja sebagai penghubung (meeting point) antara pembuat film, penikmat film, para pemilik tempat menggelar ekshibisi film, para peniliti film, dan pemilik data-data seputar film.

Memasuki usianya yang kelima, 7 Mei lalu, Boemboe merilis DVD pertamanya yang berjuluk “Indonesia Kecil”. DVD itu, berisi kompilasi tujuh film pendek Indonesia dengan total durasi 49 menit. Ketujuh film itu merupakan koleksi Boemboe dari beragam event yang telah mereka gelar. “Setelah Boemboe berjalan sekian lama, rilis DVD itu jadi semacam pertanggungjawaban kami untuk film-film yang telah terkumpul,” tutur Lulu.

Secara umum, “Indonesia Kecil” menampilkan film-film yang merupakan interpretasi bebas pembuatnya tentang wacana “Indonesia” dalam pandangan mereka. Tiap cerita menggambarkan perjuangan masing-masing karakter menghadapi masalah mereka.

Kalau mau tahu, DVD “Indonesia Kecil” didistribusikan ke 10 kota di Indonesia—Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Purwokerto, Surabaya, Malang, Jember, Balikpapan, dan Banda Aceh. Anda bisa memperolehnya di toko-toko buku dan komunitas yang menjalin kerja sama dengan Boemboe. Harganya berkisar antara Rp55.000 – Rp58.000.

Segmen Masih Terbatas

Umumnya, istilah film pendek diberikan untuk film berdurasi singkat—maksimal 30 menit—dan hanya memiliki satu plot cerita saja.

Menurut Lulu, apresiasi masyarakat terhadap film pendek sudah mulai membaik, meskipun masih bergantung pada komunitas dan segmennya sangat terbatas. Penggemar film pendek utamanya adalah anak-anak muda yang pengin mencari sesuatu yang baru.

Itu pula yang menjadi pertimbangan Boemboe untuk mendistribusikan film pendek dalam format DVD. Mereka ingin merangkul penikmat film pendek yang lebih banyak lagi, di luar komunitas yang sudah ada. Kendati demikian, hal itu tidak bisa diraih secara instan karena distribusi yang mereka lakukan bersifat underground, memanfaatkan jaringan yang mereka miliki. Sekarang, “Indonesia Kecil” baru bisa disebar di wilayah Kalimantan, Jawa, dan Aceh, tapi berikutnya Boemboe akan mencoba memperluas jalur distribusinya ke Makassar dan luar negeri.

Boemboe banyak menggunakan jalur promosi antarkomunitas dan milis. Apakah mereka memanfaatkan layanan situs sharing video YouTube sebagai media promosi? “Saat ini, kami belum menggunakan medium YouTube. Kami ingin meraih mediumnya satu per satu. Misalnya, kami sudah memanfaatkan event sebagai medium promosi, sekarang kami menggunakan DVD. Kami juga masih belajar dengan DVD ini,
jawab Lulu.

Kegiatan Boemboe

Selama berdiri, kegiatan utama Boemboe adalah membuat database serta menggelar program dan festival film pendek. Mereka juga kerap mengadakan forum pembuat film pendek sekaligus membuka kerja sama dengan berbagai pihak yang mendukung pertumbuhan film pendek Indonesia.

Sejak 2004, Boemboe rutin menggelar Boemboe Forum, forum pembuat film pendek Indonesia, di Jakarta. Sejak 2006, mereka membuat program festival dua tahunan berjuluk 3 Cities Short Film Festival. Tahun ini, tepatnya tanggal 15-23 Maret lalu, festival itu digelar di Pontianak, Banjarmasin, dan Balikpapan.

Selanjutnya untuk tahun 2008, Boemboe akan mengadakan Indonesia-USA Youth Exchange Project di Appalshop, Kentucky pada 7-21 Juni; dan Boemboe Forum 2008 “Refleksi Boemboe 5 Tahun” di Kineforum & Galeri Cipta 3, TIM Jakarta pada 2-3 Agustus.

Ajang Indonesia-USA Youth Exchange Project di Appalshop, Kentucky, AS, diadakan Boemboe setiap tahun, bekerja sama dengan Appalshop, sebuah institusi seni di Amerika Serikat. Kerja sama itu berupa pertukaran pemuda Indonesia dan Amerika untuk berbagi pengalaman tentang beragam hal seputar pengembangan film. Lulu menjelaskan, jika bulan Juni ini komunitas dari Indonesia yang dikirim ke AS, pada akhir tahun giliran komunitas dari AS yang ke Indonesia. “Akhir tahun ini, acaranya diadakan di Yogyakarta. Temanya tentang meningkatkan kualitas dengan media, dan rencananya kami juga akan mengadakan seminar nasional,” tutur Lulu.

“Kalau bulan Agustus nanti, acaranya berupa forum film maker. Kami mencari 5 atau 6 orang pembuat film untuk mempresentasikan karya masing-masing, lalu akan didiskusikan bersama. Kami mengundang semua pihak yang pernah bekerja sama dengan Boemboe supaya mereka bisa sekalian memberikan saran dan kritik untuk kami,” lanjutnya.

Akhir kata, Lulu berharap agar kelak film pendek bisa lebih dikenal, bisa masuk bioskop, dan penonton mau membayar untuk menontonnya.

Artikel ini dibuat untuk QBHeadlines.com.



Labels: ,

Game Edukasi, Media Belajar Kreatif dan Atraktif


Oleh: Restituta Ajeng Arjanti


Game bersifat adiktif, apalagi jika alur cerita dan tampilan visualnya menarik, bisa bikin gamer betah berlama-lama duduk dan menatap layar komputer hingga lupa makan dan minum.


Ada banyak genre game. Di antaranya game aksi petualangan, simulasi, strategi, musik, dan role playing game (RPG). Ada pula game yang dimainkan secara keroyokan lewat internet, istilahnya massive multiplayer online game (MMOG). Contohnya seperti Neverwinter Nights dan Ragnarok. Hingga kini, makin banyak game MMOG yang digandrungi oleh para gamer Tanah Air―sayangnya, mereka bukan asli buatan dalam negeri.


Game yang Mendidik


Selain memberikan hiburan, sebenarnya ada nilai positif yang diberikan oleh game. Game—baik yang bersifat hiburan atau edukasi—memaksa orang untuk kreatif, berpikir taktis, dan belajar mengatur strategi.


Ketimbang game hiburan, game edukasi terlihat lebih menonjol dalam industri game nasional. Jika Anda mampir ke toko buku yang besar, misalnya, Anda dapat melihat beragam judul game edukasi dipampang di etalasenya, bersanding dengan judul-judul game dan film edukasi impor (atau terjemahan). Sebagai contoh, sebut saja seri “Ruru: Magic Math”, “Belajar Berhitung 123”, dan seri “Belajar Mandarin Bersama Tingkat Dasar” besutan Elex Kids, salah satu pengembang game edukasi dalam negeri.


Meski game edukasi terlihat kurang mendapat perhatian pasar, fakta tersebut setidaknya sudah cukup menunjukkan bahwa game edukasi lokal sudah cukup diterima oleh masyarakat. Hal ini juga diakui oleh Andi Suryanto, Direktur PT Lyto Datarindo Fotuna (Lyto), perusahaan yang fokus mendistribusikan beberapa online game populer seperti Ragnarok Online, GetAmped-R, Seal Online, dan Perfect World.


Menurut dia, hal utama yang perlu dilakukan untuk meningkatkan perhatian masyarakat terhadap game edukasi lokal adalah dengan melakukan pemasaran dan pendekatan yang lebih umum. Misalnya dengan mengadakan pameran atau membuka showroom di mal, seperti yang dilakukan oleh Lyto.


Meski fokus dengan bisnis online game asal negeri orang, Lyto juga ikut mendukung perkembangan industri game nasional dengan mengembangkan konten buatan lokal. Contohnya bisa dibuka di situs komunitas online Akucintasekolah.com dan situs music game Idol-street.com. Saat ini, Lyto juga tengah mengusahakan kerja sama dengan pengembang game lokal untuk mengembangkan game sendiri.


FGEAI 2008: Promosi Game sebagai Sarana Belajar Efektif


Meski banyak orang lebih mengenal game sebagai hiburan, Koordinator Sinergi Kementerian/Lembaga Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Depdiknas, Didik Sulistyanto, mengakui game merupakan sarana belajar yang efektif dan efisien. Game dan animasi akan mempermudah siswa mengingat dan mengimplementasikan pelajarannya. Contohnya, menggunakan animasi 3D, mahasiswa Teknik Mesin bisa membuat mesin mobil tanpa perlu membongkar-pasang mobiltak ada risiko dan kerugian apapun. Begitu juga dengan mahasiswa Kedokteran. Mereka bisa menggunakan animasi 3D untuk memelajari anatomi tubuh manusia, melakukan simulasi operasi sebelum memraktikkannya pada mayat, dan sebelum mereka akhirnya siap mempraktikkan ilmunya secara langsung untuk melayani masyarakat.


Didik menyampaikan, industri game Tanah Air sudah menunjukkan perkembangan pesat, khususnya di bidang animasi yang menunjang teknologi game. Bukan tanpa alasan ia bicara begitu. Ia bercerita, "Bibit-bibit unggul (di bidang game dan animasi) dari berbagai propinsi di Indonesia bisa dilihat dari Festival Animasi tahun 2007 hasil sinergi Depdiknas dan Depbudpar yang diadakan di 5 propinsi—Jabar, Jateng, Jatim, DIY, dan Bali.” Menurut dia, hasil animasi yang dihasilkan oleh siswa, mahasiswa, dan peserta umum yang ikut dalam festival tersebut adalah luar biasa.


Untuk mengulang sukses festival tahun 2007, tahun ini 6 departemen dalam negeri—Depdiknas, Depbudpar, Depkominfo, Depperind, Kementerian Ristek, dan Departemen Agama—bekerja sama dengan Southeast Asian Ministers of Education Organization (Seamolec) dan Asosiasi Industri Animasi & Konten Indonesia (AINAKI), menghelat Festival Game Edukasi & Animasi Indonesia (FGEAI) 2008. Lewat event yang digelar selama periode Maret-November 2008 itu, sedikit banyak kita bisa melihat perjalanan industri game edukasi dan animasi nasional.


Tantangan


Kenapa game hiburan (non-edukasi) lebih populer ketimbang game edukasi? "Itu dikarenakan game hiburan sangat mudah diserap oleh pasarnya", jawab Didik. Menurutnya, untuk memopulerkan penggunaan game edukasi, game harus dibuat menarik lebih dulu agar jumlah penggunanya bertambah, dan pasarnya akan berkembang dengan sendirinya. Festival Game Edukasi dan Animasi Indonesia 2008 sendiri diadakan sebagai salah satu cara untuk memopulerkan penggunaan game edukasi di kalangan masyarakat.


Andi juga mendukung pendapat tersebut. Katanya, “Bagi gamer, bukan faktor apakah game itu buatan dalam atau luar negeri yang paling utama, melainkan fitur apa yang ada dalam game itu.” Game yang menawarkan fitur menarik—dengan alur cerita dan animasi visual yang atraktif—tentu banyak peminatnya.


Tantangan terberat untuk mengembangkan industri game dalam negeri adalah untuk menyadarkan masyarakat untuk ikut berperan mengembangkan industri tersebut. Misalnya untuk memperkenalkan, memromosikan, dan merekomendasikan produk-produk lokal, di pasar dalam dan luar negeri. Banyak masyarakat kita sendiri belum mengapresiasi para kreator game dalam negeri, padahal Indonesia punya potensi SDM yang besar untuk mengembangkan dunia game dan animasinya.


Selain itu, kurangnya proteksi hak cipta terhadap para pengembang game ikut mengganjal kemajuan industri game nasional. “Seperti yang kita tahu, persentase pembeli CD game bajakan sungguh luar biasa. Hal seperti ini yang menyulitkan pengembang game indonesia untuk mulai membangun industri di sini,” kata Andi. Menurutnya, untuk memajukan industri game dalam negeri, kita juga harus menghargai para pencipta dan pengembang game lebih dulu.


"Potensi para pencipta, pengembang, dan pelaku industri game Indonesia sangat besar", kata Didik. Kendati demikian, pemerintah masih perlu bersinergi dan punya komitmen untuk ikut mendukung mutu SDM, khususnya di bidang game dan animasi. “Harapannya supaya industri game dalam negeri bisa menjangkau jenjang ASEAN”, tambahnya.


Artikel ini dibuat untuk QBHeadlines.com.



Labels: ,

Akademi Samali, Ruang Belajar Komik Indonesia


Oleh: Restituta Ajeng Arjanti

Saat berkunjung ke toko buku besar, coba Anda perhatikan, salah satu rak yang paling ramai dirubung pengunjung adalah rak berisi komik. Peminatnya tak hanya anak-anak, tapi juga kaum dewasa.

Di tengahnya maraknya serbuan komik impor dan terjemahan dari Jepang, Eropa, dan Amerika, ternyata komunitas pecinta komik Tanah Air terus bergerak. Cobalah singgah ke Akademi Samali untuk melihat kegiatan mereka.

Worshop Komik

Akademi Samali berdiri pada bulan Mei 2005, atas gagasan Hikmat Darmawan, Beng Rahadian, dan Zarki. Bukan tanpa alasan nama tersebut diambil oleh tiga sekawan ini. Kata “akademi” dipakai untuk menjelaskan bentuk aktivitas belajar dalam komunitas yang mereka bentuk, sedang nama “Samali” diambil dari nama jalan yang kerap jadi lokasi berkumpul mereka, yakni kost milik Zarki.

Sejak awal, Akademi Samali memang didirikan sebagai wadah belajar seni gambar dan komik yang berbasis komunitas. Komunitas ini sering menggelar kegiatan “pintar” seputar komik. Misalnya kelas pengembangan naskah komik, klab menggambar bersama, klab komik (kelompok diskusi komik), pameran, dan workshop membuat komik.

Dalam workshop, peserta diajarkan tentang cara menyusun cerita untuk komik, serta cara menggambar dan memroduksi komik secara sederhana. Mereka juga diberikan wawasan mengenai komik dan sistem distribusinya.

Tak berhenti sampai di situ, Akademi Samali, memanfaatkan jaringan yang telah dimilikinya, menggandeng komunitas animasi Lanting untuk mengadakan workshopcomic to animation”. Tujuannya untuk mengembangkan keahlian animasi para pesertanya.

“Selama ini, yang tertarik untuk ikut workshop komik rata-rata berusia 19 tahun ke atas. Kelas workshop tidak kami bagi berdasarkan tingkat keahlian peserta, tapi berdasarkan minat membuat cerita atau minat menggambar,” tutur Beng Rahadian.

Menurut Beng, selama ini biaya mengikuti workshop di Akademi Samali gratis, karena beban biaya sudah ditanggung oleh pihak penyelenggara (sponsor). Karena gratis dan menunggu sponsor, gelaran workshop di sana bersifat tentatif. Karena itulah, ia dan para pengurus akademi berencana untuk menyelenggarakan workshop mandiri yang biayanya dibebankan pada peserta. Jika rencana itu terlaksana, mereka bakal membuka kelas reguler yang murah, ramah, dan santai, dengan periode 3 bulanan per angkatan.

Selain membuka kelas belajar komik, ada sederet program berbobot yang dimiliki oleh komunitas ini, termasuk program perluasan jaringan kerja. Tujuannya antara lain untuk meningkatkan kualitas berkarya para anggota dan apresiasi terhadap hasil karya mereka. Sayangnya, sama dengan yang dialami oleh komunitas-komunitas kreatif lain, urusan biaya masih menjadi kendala terbesar yang menghambat langkah mereka.

Promosi Lewat Pameran

Untuk memromosikan komik dalam negeri pada masyarakat, Beng dan rekan-rekannya di Akademi Samali kerap memanfaatkan ajang pameran. Contohnya, pameran KONDE (Komik Indonesia Satu Dekade) yang mereka gelar, tahun lalu.

Tanggal 9-20 Juni nanti, Akademi Samali akan menggelar pameran “Panggung Visual Akademi Samali” di Japan Foundation, Jakarta. Pameran itu dibuat sebagai sebuah perayaan visual memperingati 3 tahun berdirinya Akademi Samali. Di sana, karya-karya pengurus, anggota, dan para partisipan akan dipajang. Bentuknya berupa karya ilustrasi, foto, dan video animasi. Rencananya, pameran itu bakal disambung ke Semarang, pada 4-10 Juli mendatang.

Sebelumnya, Akademi Samali―bekerja sama dengan beragam komunitas―juga cukup sering mengadakan pameran. Contohnya, April 2008 lalu, Akademi Samali bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Jakarta menjadi co-organizer untuk Pameran Sejarah Komik Indonesia-Prancis dan workshop komik oleh komikus Prancis Stephan Heuet.

Meski usianya masih terbilang sangat muda,
akademi ini sudah pernah meraih penghargaan. April lalu, Akademi Samali menyabet penghargaan sebagai komunitas pengembang komik Indonesia dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Taman Mini Indonesia Indah. Satu lagi, asal Anda tahu, sudah ada komik buatan akademi ini yang terbit secara berkala di Koran Tempo Minggu. Judul komiknya Mat Jagung, dibuat bekerja sama dengan penulis Radhar Panca Dahana.

Komik Dalam Negeri

Bagaimana perkembangan industri komik nasional? Disodori pertanyaan itu, Beng menyatakan, “Perkembangannya baru sebatas eksplorasi visual saja. Gambarnya memang semakin cantik dan bagus, tapi masih kering asupan cerita bermutu.” Ia menilai, hal itu disebabkan belum adanya sinergi mutualisme antara komikus dengan pihak penerbit.

“Dunia komik Indonesia masih menghadapi banyak tantangan untuk maju. Komik yang bagus adalah komik dengan ide cerita serta penuturan alur yang bagus. Kita masih kekurangan keduanya. Banyak komikus kita yang bergantung pada referensi, dan akhirnya malah hanya menjiplak,” lanjutnya.

Menurut Beng, untuk membuat sebuah komik yang menarik, seseorang harus punya mental percaya diri dan tahan untuk tidak menjiplak. Ia juga harus punya kemampuan bercerita dan menceritakan. Untuk mendukung komiknya, akan lebih baik jika komikus melakukan riset dan observasi. Dan satu lagi yang penting, komikus juga harus melek visual, paham tentang dasar menggambar dan punya kepekaan terhadap estetika.

Beng sendiri secara pribadi berharap agar industri komik dalam negeri bisa maju layaknya industri musik lokal saat ini. “Tapi tanpa bajakan, ya,” katanya sambil tertawa.

Klasifikasi Komik

Klasifikasi komik bisa dibedakan berdasarkan genre (jenis cerita), gaya visual, atau berdasarkan mediumnya.

Menurut Beng Rahadian, berdasarkan genre, komik bisa dibagi menjadi komik silat, roman (drama), detektif, petualangan, humor, action, superhero, dan banyak lagi. Berdasarkan gaya visual, ada tiga gaya yang paling populer di dunia, yaitu gaya Amerika, Eropa, dan Jepang. Lalu, berdasarkan mediumnya, komik bisa dibedakan jadi komik buku, komik strip, dan komik digital. Komik strip adalah komik satu baris, seperti yang kerap tampil di majalah atau koran. Sedangkan komik digital berbentuk file―cara produksi dan cara membacanya berbasis teknologi digital, misalnya lewat ponsel, komputer, atau via internet.

Saat ini, pasar sedang marak dengan beragam terbitan komik dan novel grafis. Sebenarnya, apa beda keduanya? “Sama saja sih, hanya novel grafis secara sadar dibuat oleh komikus untuk menjadi karya komik yang punya bobot sastra, atau cerita yang kompleks,” jelas Beng.

Artikel ini dibuat untuk QBHeadlines.com.



Labels: ,

Robotika Indonesia: Tarik Minat Dunia Pendidikan Lewat Kontes Robot

Oleh: Restituta Ajeng Arjanti

Apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar kata "robot"? Mesin dengan bentuk menyerupai manusia seperti Robocop, android dalam film The Terminator, atau mungkin mesin seperti yang ada di film Daryl, atau Bicentennial Man?

Meski banyak orang membayangkan robot sebagai mesin dengan rupa seperti manusia, pada kenyataannya banyak sekali robot berpenampilan “datar” dan kaku—sama sekali tak mirip manusia. Mereka umumnya dibuat untuk menjalankan tugas-tugas berisiko tinggi yang tak mungkin dilakukan oleh manusia. Misalnya untuk memelajari dan menjelajah Mars, mengangkat objek-objek berat, atau mengerjakan tugas-tugas pemasangan barang yang menuntut presisi tinggi di pabrik perakitan hardware.

Robot banyak digunakan untuk keperluan di bidang manufaktur, militer, transportasi, kesehatan, dan eksplorasi luar angkasa. Tak mengherankan, mereka tak kenal lelah dan telah diprogram sedemikian rupa agar tidak melakukan kesalahan saat mengerjakan tugas-tugas rumit dan berulang.

Untuk bidang robotika, salah satu negara yang bisa dijadikan kiblat adalah Jepang. Di sana, robot bahkan telah menggantikan fungsi asisten rumah tangga. Dibandingkan dengan Jepang atau negara-negara maju lainnya, dunia robotika Tanah Air memang masih terbatas, meski sudah dimulai sejak sekitar tahun 1985-an. Hal tersebut diakui oleh Wahidin Wahab, Presiden Robotic Organizing Committee Indonesia (ROCI).

Di sini, penggunaan robot memang masih terbatas di bidang industri, yakni dalam sistem produksinya. “Di luar itu, pemanfaatan robot masih sebatas hobi dan kegiatan ekstrakurikuler saja,” ujar Wahidin.

Kontes Robot dan Perhatian Sekolah

Wahidin bercerita, sejak tahun 1999, Direktorat Pendidikan Tinggi - Departemen Pendidikan Nasional (Dikti-Depdiknas), atas prakarsa Prof. Soemantri Brojonegoro, telah mensponsori ajang lomba robot nasional yang diberi nama Kontes Robot Indonesia (KRI). Kini, beberapa kontes robot sudah dilaksanakan secara teratur setahun sekali. Contohnya KRI dan Kontes Robot Cerdas Indonesia (KRCI) yang diadakan oleh Dikti-Depdiknas untuk mahasiswa, Imagine 08 yang dilaksanakan untuk siswa SD, SMP dan SMU oleh Klub Robotic bekerja sama dengan Fischer Technik Indonesia; Indonesia Robot Olympiad (IRO) yang diadakan oleh ROCI untuk tingkatan SD, SMP, SMU, hingga mahasiswa dan umum (perusahaan); serta Indonesia ICT award 2008 yang disponsori oleh Depkominfo.

Secara umum, kontes robot telah berhasil menarik minat mahasiswa untuk menekuni ilmu pengetahuan dan menerapkan teknologi dalam robot yang mereka rancang dan buat untuk kontes. Bahkan kini beberapa universitas dan politeknik terkemuka telah mulai melakukan penelitian mendalam di bidang aplikasi robotika.

Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) adalah salah satu universitas yang terkenal dengan bidang robotikanya. Son Kuswadi, Kepala Intelligent Control and Robotics Lab, ITS, menyampaikan, saat ini, labnya tengah mengembangkan robot berbasis sistem biologi, robot yang dikembangkan dengan meniru mekanisme dan kendali makhluk hidup, untuk keperluan pencarian korban tsunami dan gempa.

Produk lain yang mereka kembangkan adalah robot berkaki lima yang punya kemampuan seperti bintang laut, bisa bergerak fleksibel di celah-celah sempit dan mampu menghadapi beragam halangan. Robot ini mereka kembangkan dengan sistem kendali berbasis sifat. Kecerdasannya dibangun berdasarkan kecerdasan-kecerdasan dasar yang dimiliki oleh makhluk hidup yang ditirunya.

Son mengaku, ITS cukup sering mengajak murid sekolah-sekolah di Surabaya untuk mengikuti workshop merakit robot sederhana. Hal itu tak sulit untuk dilakukan karena kini sudah ada banyak kit yang ditawarkan untuk memudahkan perakitan robot. Jadi para pemula tak perlu lagi membangun robot dari nol. Menurutnya, ini dapat menarik minat generasi muda yang potensial untuk mengembangkan robot.

Tak hanya lewat kontes, roadshow dan seminar tentang robotika pun kerap diadakan untuk memperkenalkan dunia robotika pada masyarakat. Selain menambah ilmu peserta, kegiatan-kegiatan itu juga bisa menjadi obat untuk mengatasi kejenuhan belajar siswa di sekolah.

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, perhatian terhadap dunia robotika kian meningkat. Beberapa sekolah telah memasukkan pelatihan robotika dalam kegiatan ekstrakurikuler mereka. Di antaranya BPK Penabur, SD Sekolah Alam, Sekolah Ricci, SMP-SMU Petra di Surabaya, dan Sekolah Pelita Harapan.

Masih Banyak Kendala

Meski mulai banyak peminatnya, masih banyak kendala yang dihadapi oleh dunia robotika Tanah Air.

“Kendalanya dari segi waktu, biaya, dan guru”, ujar Wahidin. Dari segi waktu, ia mengungkapkan, sebagian besar sekolah merasa sudah membebani murid-muridnya dengan kurikulum yang begitu padat. Menambah materi tentang robotika sama artinya dengan menambah waktu belajar-mengajar murid dan guru. Dari segi biaya, hampir semua sekolah belum menyediakan bujet untuk kegiatan eskul robotika, apalagi harga kit robot cukup mahal. Dan ketiga, guru umumnya enggan ketambahan beban mengajar. Mereka merasa telah melaksanakan kewajibannya dengan memenuhi jam kerjanya. Lagipula, gaji mereka tak bertambah meski kegiatan mengajar mereka bertambah.

Kendala biaya juga diakui oleh Son. Komponen-komponen robot, apalagi jika baru, mahal harganya. Menurutnya, satu motor DC lengkap dengan sistem kendalinya bisa berharga Rp5 juta, padahal untuk membangun satu robot bisa dibutuhkan 10 motor, belum termasuk komponen yang lain. Kalau mau lebih ringan, komponen-komponen seken bisa dilirik.

Selain itu, Son juga menilai kemampuan perguruan tinggi dalam negeri belum merata—ada yang sudah maju dan berkali-kali jadi juara kontes robot, namun banyak juga belum mampu mengendalikan gerakan motor. Kendati demikian, menurutnya pengadaan kontes-kontes robot dapat meminimalkan masalah tersebut.

Masa Depan Robotika Indonesia

Wahidin Wahab dan Son Kuswadi sama-sama memimpikan masa depan dunia robotika Tanah Air yang cerah.

“Saya tidak bermimpi anak-anak Indonesia kelak bisa membuat robot tercanggih di dunia, namun saya berharap suatu hari nanti mereka akan muncul sebagai ahli-ahli teknologi yang bisa berkarya dan menghasilkan produk-produk inovatif dengan memanfaatkan teknologi robotika”, ucap Wahidin. “Dengan begitu, akhirnya negara kita dapat berubah, dari negara agraris menjadi negara yang berbasis industri dan teknologi tinggi.”

Jika itu dapat tercapai, Wahidin percaya Indonesia tak harus mengalami krisis terus menerus dan tak perlu lagi mempersoalkan subsidi bahan bakar atau urusan ekonomi sejenisnya.

“Saya berharap agar 'demam' robotika di Tanah Air itu terus dibangkitkan, demi tersedianya SDM tangguh di Tanah Air dalam membangun bangsa”, begitu harapan Son. Menurutnya, meski masih banyak pengangguran di dalam negeri, masyarakat tak perlu takut untuk mengembangkan robot. Robot dapat dianalogikan seperti komputer. Dulu, banyak orang mengkhawatirkan komputer akan mengambil peran sekretaris. Ternyata kini, komputer justru menjadi senjata andalan sekretaris dalam bekerja. Pun robot akan membantu meringankan tugas manusia.

“Dengan menggembleng orang menjadi mampu berkreasi di bidang robotika, kita akan menghasilkan orang-orang yang siap berkarya di bidang apapun, nantinya”, tambah Son.

Robotika Bukan Sekadar Urusan Teknis

“Untuk terjun ke bidang robotika, seseorang harus siap untuk mempelajari berbagai aspek—bukan hanya aspek teknis dan pengetahuan tentang komponen-komponen elektronika, tapi juga sosial”, Son menyampaikan.

Saat ini, banyak penelitian dilakukan untuk menemukan cara bagaimana agar robot-robot dapat saling berkomunikasi dan bekerja sama dalam mengerjakan tugas yang besar. Misalnya untuk menangani masalah reruntuhan bangunan akibat gempa, robot dapat digunakan untuk menemukan korban. Akan lebih mudah jika robot memiliki kemampuan komunikasi. Jadi, dia dapat memanggil rekan-rekannya untuk membantunya menyelamatkan korban.

“Tentu saja, kemampuan-kemampuan teknis dan sosial tak harus dikuasai oleh satu orang”, ujarnya lagi. Intinya, kolaborasi menjadi kunci untuk sukses membuat robot. Untuk mengembangkan robot yang hebat, yang dibutuhkan adalah teamwork yang kuat.

Artikel ini dibuat untuk QBHeadlines.com.



Labels: ,

Crayon's Craft & Co, Saluran Hobi Bikin Miniatur yang Menghasilkan

Oleh: Restituta Ajeng Arjanti

Coba lihat gambar di samping. Apa mangkok-mangkok berisi mie bakso itu mengundang selera makan Anda? Perlu Anda tahu, mie bakso di mangkok-mangkok itu bukan mie bakso betulan, melainkan hanya replikanya. Sangat mirip dengan aslinya, bukan? Itulah salah satu produk unik yang dijual oleh Crayon's Craft & Co, usaha kreatif asuhan Syumeiraty Rashando yang berbasis di Jl. Aceh 15, Bandung.

Penyaluran Hobi

Bisnis membuat miniatur sudah dilakoni oleh Syumeiraty Rashando, akrab dipanggil Yoyong, sejak tahun 2004, bersamaan dengan saat ia mendirikan toko bahan prakaryanya, Crayon's Craft & Co (Crayon's).

Sebelum mendirikan Crayon's, pada 1995 Yoyong pernah menjalani bisnis giftshop, menjual pernak-pernik hadiah dan aksesoris. Sayang, banyak bisnis serupa bermunculan. Persaingan yang sangat ketat menyulitkannya mengembangkan bisnis tersebut. Akhirnya, ia menutup gitfshop dan memutuskan untuk mendirikan Crayon's dengan konsep bisnis yang unikmenjual bahan-bahan prakarya dan memberi kursus prakarya gratis bagi para pembeli bahan di tokonya.

Menurut Yoyong, tujuan awalnya membuka Crayon's Craft & Co simpel, untuk menyalurkan hobi sambil mendapatkan penghasilan tambahan. Bisnis membuat miniatur dari clay (tanah liat sintetis, biasa juga disebut malam atau lilin plastik) pun diakui Yoyong sebagai perpanjangan hobinya.

Kegiatan membuat miniatur mulai ditekuni Yoyong saat baru melahirkan anak keduanya. Bosan tak ada yang dikerjakan di rumah, ia membuka-buka buku tentang prakarya dan memutuskan untuk membuat miniatur makanan khas Indonesia dari clay. Saat itu, miniatur semacam itu belum ada.

Selain hobi membuat pernak-pernik dan prakarya, ibu dua anak ini gemar traveling. Hobi itu tak disia-siakannya untuk menambah wawasan yang berhubungan dengan bisnisnya. Yoyong mengaku, biasa membeli buku tentang prakarya dan barang-barang kerajinan tangan yang unik sebagai oleh-oleh traveling.

Buku-bukunya, jumlahnya kini sudah seruangan penuh dan disimpan dalam perpustakaan di toko Crayon's, memberi inspirasi untuk meciptakan prakarya yang unik. Kerajinan-kerajinan tangan yang dibelinya dari luar negeri juga tak hanya dijadikan sebagai pajangan. Sekembalinya ke Tanah Air, Yoyong selalu mencoba mencontoh membuat kerajinan yang sejenis, namun dengan ciri khas Indonesia.

Siapa sangka hobinya itu bisa membawa Yoyong menjalani bisnis yang penuh passion sekaligus menghasilkan? Crayon’s kini memiliki omset sedikit di bawah Rp100 juta per bulan dan mampu menghidupi 20 orang karyawan. Wanita kelahiran 1 April 976 ini mengungkap, ia merintis Crayon’s dengan modal awal Rp20 jutaan dan 5 orang karyawan. Ia menilai omset bisnisnya sudah cukup bagus, meski masih di bawah target.

Sukses dengan Perjuangan

Sukses yang dirasakan Yoyong dan Crayon's tidak diperoleh tanpa perjuangan. Yoyong bercerita, di tahun pertamanya membuka Crayon's di Jl. Aceh 15, Bandung, ia merasakan kesulitan luar biasa. Lokasi yang sepi dan terpencil memaksa dia dan para karyawan berjuang keras untuk berpromosi. Ternyata, menyediakan pelatihan gratis pun tidak serta merta membawa banyak pengunjung masuk ke tokonya.

“Awalnya banyak yang ragu kami menyediakan kursus gratis. Tapi akhirnya, dari promosi yang kami lakukan lewat brosur dan iklan-iklan di mobil, ada juga yang mau melihat. Dari situ, makin banyak orang yang datang karena tertarik dengan konsep (belajar gratis) yang kami tawarkan,” tutur Yoyong. Jika mudah putus asa, tentu ia tak akan bertahan dan menyicip sukses seperti sekarang.

Hingga kini, cukup banyak prestasi yang diraih Yoyong. Pada 2006, ia mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (Muri) sebagai pemrakarsa pembuat miniatur gerobak makanan khas Indonesia. Tahun lalu, miniatur warung Dji Sam Soe buatan Yoyong menyabet penghargaan Dji Sam Soe Award 2007. Tak hanya itu, karya miniaturnya juga telah dua kali berturut-turut meraih penghargaan Indonesia Good Design pada 2006 dan 2007. Terakhir, pada perhelatan Inacraft 2008, akhir April lalu, Yoyong juga mendapat penghargaan Femina Choice Award atas desain produk miniaturnya.

Disukai Para Kolektor

Produk miniatur bisa dibilang sebagai produk populer di toko Crayon's. Harga jualnya berkisar antara Rp250.000 hingga Rp5 juta, tergantung pada tingkat kerumitan pengerjaan dan ukuran miniaturnya. Makin besar ukuran dan makin banyak ragam isi miniatur, akan makin mahal harganya. Kalau mau, pembeli bisa membuat pesanan khusus.

Selama 4 tahun belakangan, Sudah banyak ragam miniatur gerobak dan replika makanan yang dibuat Yoyong. Satu hal yang membuatnya bisa berbangga, Presiden pun mengoleksi beberapa miniatur buatannya.

“Pak SBY itu kolektor miniatur. Sudah ada beberapa miniatur saya yang dibelinya. Ada yang dibeli di pameran, ada juga yang dibeli di toko Crayon's. Waktu pameran Inacraft kemarin, beliau juga beli miniatur kios toko dan warung rujak asinan Bogor. Pak SYB menolak waktu saya mau kasih miniaturnya, dia penginnya beli,” tutur Yoyong.

Selain Presiden, orang asing, terutama asal Jepang, juga tertarik untuk mengoleksi miniatur buatan Yoyong. Ia bercerita, miniatur pasar tradisional pertamanya—berisi sayur-sayuran lengkap dan sembako—dibuat berdasarkan pesanan dari seorang Jepang. Yoyong akhirnya membuat beberapa miniatur pasar tradisional yang serupa―satu untuk si orang Jepang, sisanya untuk dijual di tokonya. Tak disangka, miniatur pasar tradisional ternyata disukai.

Bagi Ilmu Gratis

Tak hanya menjual bahan-bahan prakarya, Crayon's juga membagikan ilmu secara gratis bagi siapa saja yang membeli bahan di sana. Konsep bisnis ini menarik―selain ingin berdagang, Yoyong juga ingin beramal. Ia ingin orang-orang yang mengunjungi tokonya bisa mendapat wawasan dan keahlian sebagai bekal mereka merintis usaha.

Program bagi ilmu gratis lewat kelas-kelas pelatihan sudah dimulai sejak awal Crayon's berdiri. Hingga kini, sudah banyak kelas yang dibuka, di antaranya kelas menyulam (sulam payet dan sulam pita), kelas merajut (hakken dan rayen), kelas prakarya clay (clay miniatur dan clay boneka), serta kelas aksesori fesyen. Kini, total ada 8 karyawan dengan keahlian yang berbeda-beda yang menangani kelas-kelas itu.

Menurut Yoyong, tiap kelas punya penggemar masing-masing. “Umumnya, anak-anak lebih suka belajar bikin prakarya clay, remaja lebih suka bergabung di kelas rajutan brayen karena bisa membuat topi dan syal sendiri, sedang kelas rajutan hakken biasanya dipilih orang-orang yang agak tua.”

Bukan hanya pengunjung toko saja yang diberinya ilmu, karyawannya juga. Yoyong berkisah, karyawan-karyawan Crayon's, termasuk para pengajar kursus, awalnya tak tahu apa-apa tentang handicraft. Supaya mereka punya pengetahuan dan keterampilan yang menunjang bidang usaha yang dirintisnya, Yoyong memfasilitasi mereka dengan buku-buku.

“Saya kasih mereka buku untuk belajar. Bidang keahliannya sengaja dibedakan supaya mereka benar-benar menguasai satu keahlian. Saya sendiri hanya menguasai prakarya dengan clay, tak bisa merajut”, tutur Yoyong.

Sebagai enterpreneur muda, Yoyong ingin para karyawannya pun diuntungkan dan punya wawasan luas tentang handicraft. Ia tak menutup kemungkinan jika mereka ingin membuka usaha kerajinan sendiri berbekal keterampilan yang mereka dapat dari buku-buku yang diberikannya.

Saat ini, meski usahanya tengah berkembang, Yoyong mengaku belum berencana untuk membuka gerai baru di lokasi lain. Kendati demikian, ia sangat ingin untuk memperluas usahanya itu, dan melengkapi Crayon's Craft & Co dengan lebih banyak bahan kebutuhan prakarya.

Artikel ini dibuat untuk QBHeadlines.com.



Labels: ,

Web 2.0, Ajang Aktualisasi Diri dan Pengembangan Bisnis

Oleh: Restituta Ajeng Arjanti

Jangan remehkan kekuatan internet. Bayangkan, sudah berapa banyak orang menjadi “besar” karenanya. Selain CEO Google Eric Schmidt dan CEO Yahoo Jerry Yang, sebut saja nama Linus Torvalds si penemu Linux dan pencipta Wikipedia Larry Sanger. Mereka memanfaatkan forum diskusi dan milis di internet untuk memperkenalkan ciptaan mereka, dan mengajak orang lain untuk ikut berkontribusi dalam mengembangkannya. Kini, siapa yang tak kenal Linux dan Wikipedia?

Wajah world wide web terus berevolusi, dan prosesnya berlangsung terus-menerus. Saat ini, kita tengah berada dalam era Web 2.0, era yang menampilkan web sebagai perangkat sosial. Di sini, peran serta para pengguna internet—baik dalam komunitas maupun forum—makin tak bisa lepas dari internet, juga perkembangan bisnisnya. Di sini, semua pengguna internet bisa melihat, berkontribusi terhadap isi internet, dan merasa menjadi bagian dari internet itu sendiri.

Bisnis Jejaring Sosial

Web 2.0 mengandalkan konsep social networking. Bagi para pengguna internet, situs-situs Web 2.0 sangat menarik karena dapat dijadikan ajang aktualisasi diri. Lewat situs layanan blog macam Blogger, Wordpress, dan Multiply misalnya, para pemilik blog (blogger) dapat mencurahkan pikiran dan isi hati mereka. Situs lain, seperti Flickr dan Picassa, menawarkan layanan sharing foto bagi para penggunanya. Sementara YouTube dikenal sebagai situs penyedia layanan sharing video.

Model bisnis yang ditawarkan oleh situs-situs berbasis Web 2.0 terbilang menarik, meski dianggap tak lazim layaknya bisnis tradisional. Kita ambil Facebook sebagai contoh. Situs hangout itu kelihatannya hanya mengumpulkan orang-orang muda yang gemar berbagi foto dan sekadar bergaul di internet. Tapi, coba bayangkan, dengan jumlah pengguna online yang berjumlah puluhan juta—termasuk di dalamnya adalah orang-orang kreatif dan pebisnis yang ingin menjalin relasi—berapa besar potensi yang dimiliki Facebook?

Situs ini mengundang para pengembang aplikasi untuk menawarkan “mainan” buatan mereka—berupa aplikasi-aplikasi kecil yang disebut widgets. Ini, selain mengundang lebih banyak orang untuk bergabung sebagai pengguna, juga menarik para pengembang aplikasi untuk terus berkreasi dan memanfaatkan Facebook sebagai media promosi produk mereka. Potensi Facebook tak berhenti sampai di situ. Aplikasi-aplikasi itu kemudian menjadi magnet bagi para pemasang iklan untuk menyelipkan iklan produk buatannya ke sana. Bisa dilihat, pada akhirnya, inovasi yang dilakukan Facebook di situs Web 2.0-nya tak hanya memengaruhi dunia sosial, tapi juga industri.

Beragam inovasi lain juga dilakukan oleh penyedia layanan situs social networking dan blog untuk tetap eksis di jagat online. Blogger, misalnya, kini sudah melengkapi situsnya dengan dukungan video. Flickr, situs layanan sharing foto milik Yahoo baru saja memperkenalkan layanan video online—bersaing dengan YouTube. MySpace merilis situs bilingual sesuai dengan lokasi akses penggunanya. Contohnya MySpace versi Latin yang dibuat untuk para pengguna MySpace di kawasan Amerika Latin. Selain tampil dalam bahasa Latin, MySpace Latin juga menawarkan konten khas komunitas di wilayah tersebut, seputar sepakbola, artis, dan budaya di sana. Jadi, isinya tak sekadar terjemahan dari versi Inggrisnya.

Populer di Dalam Negeri

Situs-situs social networking luar negeri cukup populer si Tanah Air. Shana Fatina, mahasiswa perempuan pertama yang terpilih sebagai Presiden Keluarga Mahasiswa (KM) ITB periode 2008/2009, bisa mewakili para pengguna layanan blog dan situs social networking untuk memberi testimoni. Saat ini, Mahasiswa jurusan Teknik Industri angkatan 2004 ini terdaftar sebagai pengguna layanan situs Friendster, Flickr, dan Blogger.

“Saya ikutan Friendster supaya bisa ketemu teman-teman lama dan baru, supaya bisa update info dari teman-teman lebih cepat, dan supaya bisa berhubungan dengan teman-teman yang sudah jauh, di luar negeri misalnya”, ujarnya.

Shana mengaku, meski tidak selalu meng-update blognya, tiap hari dia pasti membuka akun Friendster-nya dan singgah ke blog-blog orang (blogwalking). Selain memanfaatkan blog sebagai sarana mencurahkan pikiran, dia pun kerap mencari referensi dan opini dari blog-blog orang. “Asyiknya di blog, kita bisa menuliskan pendapat dan dikomentari orang. Apalagi sekarang, layanan blog juga sudah ditambahi banyak aplikasi.”

Saat mengampanyekan diri sebagai Presiden KM ITB, Shana mengaku juga memanfaatkan Friendster dan blognya. Ia mengganti foto di akun Friendster-nya dengan logo ITB dan menambahkan link situs kampanyenya bersama rekannya, Bagus Yuliantok, ke Friendster dan blognya. Mungkin promosi via Friendster dan blog ini jugalah yang juga membuat mereka meraup 2.182 suara, mengalahkan dua pasangan lainnya.

Bapak Blogger Indonesia, Enda Nasution, juga merasakan manfaat menggunakan layanan dari situs-situs social networking. Dia mengaku, situs-situs tersebut memudahkannya untuk meng-update informasi tentang teman-temannya. Karena itu dia mendaftarkan diri di banyak layanan social networking. Di antaranya Facebook, Friendster, Del.icio.us, Flickr, YouTube, Blogger, Twitter, dan Digg.

Web 2.0 Asli Indonesia

Bagaimana dengan perkembangan Web 2.0 di Tanah Air? Menurut Enda, di dalam negeri, sudah cukup banyak situs berkonsep Web 2.0. Contohnya Moodmills.com, Kronologger.com, Blog.detik.com, Dagdigdug.com. Semua asli Indonesia. Namun, tidak semuanya menggunakan engine buatan sendiri.

Menurutnya, situs-situs itu sudah cukup bagus. Moodmills contohnya, mengangkat ide yang baru, lumayan orisinal, memadukan microblogging dan social networking, serta fokus pada mood pengguna. Meski pembuatnya adalah orang Indonesia, situs itu tak hanya menyasar orang Indonesia. Sedangkan Kronologger, menurut Enda, adalah Twitter versi Indonesia. Yang disediakannya adalah layanan microblogging.

Ditanya tentang situs berita dalam negeri, apakah sudah ada yang mengusung konsep Web 2.0, dia menjawab, “Media sosial belum ada yang serius (dengan Web 2.0), paling yang sudah mulai ada itu fasilitas komen saja—seperti di Detik dan KCM, misalnya. Ada juga beberapa situs yang ingin mencoba-coba membuat Digg ala Indonesia, tapi tidak ramai. Wikimu juga bisa dibilang mewakili Web 2.0, modelnya citizen journalism.”

Web 2.0 memang menawarkan potensi bisnis yang besar. Sayangnya, di Indonesia, belum banyak yang secara serius memanfaatkan situs social networking untuk berbisnis. Hal tersebut disampaikan oleh Enda. “Minimal sebatas untuk mengiklankan produk yang mereka jual, contohnya jualan barang di Multiply.”

Menurut Enda, potensi internet di Indonesia masih terbentur oleh masalah infrastruktur online. “Sistem pembayaran dan sistem pengiriman barang yang terintegrasi masih minim, padahal potensinya ekonominya besar. Tambah lagi, Indonesia merupakan negara kepulauan. Kadang, banyak barang yang tidak masuk ke daerah, padahal barang tersebut justru banyak peminatnya di daerah. Makanya banyak orang daerah yang mampu memilih untuk pergi ke Jakarta atau kota besar lain sekadar untuk belanja”, paparnya.

Web 3.0, Seperti Apa?

CEO Google Eric Schmidt pernah memprediksikan Web 3.0 sebagai sebuah cara baru untuk membangun aplikasi. Aplikasi-aplikasi tersebut punya beberapa karakteristik—ukuran mereka relatif kecil dan dapat berjalan di beragam perangkat, bisa PC atau ponsel. Aplikasi-aplikasi tersebut berkembang dengan cepat dan bisa dikostumasi. Mereka didistribusikan secara viral, terutama lewat jaringan sosial atau email. Konsep Web 3.0 begitu dekat dengan Web 2.0, yakni sebagai sebuah istilah baru di dunia marketing.

Kalau begitu, apakah kita sudah berada di dunia Web 3.0—mengingat Facebook dan beberapa situs layanan jejaring sosial juga sudah dilengkapi dengan beragam widgets untuk menunjang kegiatan gaul para pengguna situsnya?

Ditanya tentang hal ini, Enda Nasution punya pendapat sendiri. Menurutnya, apa yang digambarkan sebagai Web 3.0 itu belum terjadi—minimal dalam arti diadopsi oleh pengguna internet secara luas. “IMHO (in my humble opinion), Web 1.0, Web 2.0, dan seterusnya terjadi sebagai refleksi. Artinya, istilah Web 2.0 baru muncul setelah Flickr, Del.icio.us, Digg, Facebook, dan yang lainnya muncul. Dan, karena ada Web 2.0, maka versi Web yang sebelumnya disebut Web 1.0”, jawab Enda.

“Perubahan Web juga tidak seperti episode TV, tapi terjadi secara gradual dan tersambung. Jadi, wajar jika kemudian orang mengira-ngira jika ada Web 1.0 dan Web 2.0, maka akan ada yang ke-3, ke-4, dan seterusnya. Tapi dalam realitanya, hingga hal yang baru itu terjadi, dan kita bisa berefleksi bahwa itu adalah yang namanya Web 3.0, kita tak akan bisa tahu dengan pasti.”

Merujuk ke prediksi Schmidt tentang Web 3.0, menurut Enda, aplikasi-aplikasi kecil (widgets) yang ada di situs-situs jejaring sosial saat ini bisa jadi merupakan bibit-bibit dari Web 3.0. Tapi, apakah itu akan menjadi aplikasi yang digunakan secara luas oleh orang, dan apakah itu yang nantinya akan disebut sebagai Web 3.0—itu juga masih menjadi pertanyaan.

Artikel ini dibuat untuk QBHeadlines.com.

Labels: ,

Wahyu Aditya: Jadi Animator Berkat Pak Tino Sidin

Oleh: Restituta Ajeng Arjanti

Wahyu Aditya namanya, pria kelahiran Malang, 4 Maret 1980, pendiri dan kepala sekolah Hello;Motion, salah satu sekolah desain dan animasi dalam negeri yang berbasis di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Tahun 2000, ia lulus dengan predikat terbaik dari KvB Institute of Technology, Sydney, Australia, tempatnya menggali ilmu multimedia. Sejak itu, penghargaan-penghargaan lain menyusul langkahnya di dunia grafis dan animasi.

Hobinya menggambar menuntunnya untuk menekuni bidang grafis dan animasi. “Gara-gara tontonan jaman dulu, Pak Tino Sidin, saya suka menggambar. Mungkin kalau dulu tontonan saya BJ. Habibie, saya bisa jadi insinyur”, canda pria yang akrab disapa Adit ini.

Selain pernah menggarap sederet iklan produk dan layanan—seperti iklan Lifebuoy, Teh Botol, PLN, Busway, kampanye Pemilu, Jakarta International Film Festival (JIFFEST), dan Pertamina—Adit juga pernah menyumbang animasi berdurasi 10 menit di acara “Dunia Dea”. Namun sayang, rating acara yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi nasional itu kurang bagus, hingga akhirnya projek eksperimental itu tak dilanjutkan.

Hello;Motion dan Hello;Fest

Pada 8 April 2004, bermodal pinjaman Rp400-an juta dari bank, Adit mendirikan Hello;Motion (bisa ditulis hello;motion), sekolah yang bergerak dalam pendidikan animasi dan sinema.

“Waktu itu, belum ada sekolah animasi”, itulah alasannya mendirikan Hello;Motion School. Ia yakin, dengan mendirikan sekolah animasi, konten animasi lokal di televisi dalam negeri bisa bertambah dan industri animasi dalam negeri bisa lebih maju.

Hello;Motion membuka empat kelas yang masing-masing berdurasi tiga bulan, yakni kelas motion graphic, digital movie making, editing, dan animation making. Menurut Adit, motion graphic adalah kelas favorit yang paling cepat mengumpulkan murid di sana.

Jumlah siswa di tiap kelas dibatasi maksimal 10 orang. Dengan biaya sekolah Rp3.850.000,-, tiap siswa difasilitasi satu unit komputer, kurikulum yang sesuai, dan bimbingan dari mentor. Mereka juga dibekali dengan sertifikat dan informasi mengenai industri animasi dan peluang kerjanya.

Selain membuka program sekolah, Hello;Motion juga secara teratur—satu kali setahun, sejak tahun pertama sekolah itu didirikan—menggelar Hello;Fest Motion Picture Arts Festival sebagai ajang apresiasi animasi Indonesia di kancah nasional. Untuk menghelat acara tersebut, Hello;Motion biasa bekerja sama dengan komunitas animasi, pemerintah, media, dan sponsor-sponsor lainnya.

Adit bercerita, pengunjung Hello;Fest total bisa mencapai 3.000 orang, dengan jumlah peserta kontes 150-an orang. “Konsep kami agak beda. Hello;Fest cuma diadakan satu malam. Cara nontonnya seperti nonton konser musik”, katanya. Bayangkan, 3.000 orang dalam satu gedung menonton film-film animasi singkat yang dilombakan—pasti seru.

“In Rainbows”

Di tengah kesibukannya mengelola Hello;Motion—mengembangkan kurikulum, sistem organisasi, dan pendanaannya—Adit juga merepotkan diri dengan projek pribadinya. Salah satunya dengan ikut serta dalam kontes video musik animasi di situs aniBoom.com.

Kontes yang digelar sejak pertengahan Maret 2008 itu menjaring klip video animasi terbaik untuk lagu “In Rainbows” milik kelompok musik Radiohead. Dalam kontes tersebut, Radiohead dan aniBoom.com bertindak sebagai juri. Sepuluh semifinalis yang terpilih, masing-masing berhak mendapatkan 1.000USD dan berkesempatan untuk maju menjadi finalis dan memenangkan hadiah utama sebesar 10.000USD, akan diumumkan pada 6 Mei 2008. “Bismillah, mudah-mudahan menang”, ucap Adit berharap.

Adit mengaku tahu tentang kontes klip animasi itu dari pengunjung situs web dot-project.blogspot.com, blog yang dibuatnya sebagai salah satu bentuk pengajuan proposal projeknya. “Saya tahu aniBoom juga baru bulan ini (April)”, aku Adit sambil tertawa. Bicara soal jumlah animator dalam negeri yang kerap ikut serta dalam kontes semacam ini, ia menjawab, “Masih tidak lebih dari 20 animator, kayaknya.”

Ini bukan kali pertama Adit menjajal kemampuannya di kancah luar negeri. Sekitar tahun 2007, dia pernah mengerjakan projek animasi pendidikan untuk ASEAN. Animasi berdurasi 5 menit yang dibuatnya itu bertujuan untuk mensosialisasikan arti dan fungsi ASEAN dari sudut pandang anak SD dan SMP. Selain itu, namanya pun sudah eksis di kancah internasional—terbukti dengan penghargaan yang diraihnya pada tahun 2007, sebagai pemenang International Young Creative Entrepreneur of The Year dari British Council untuk kategori desain dan film.

Animasi Indonesia

Tentang industri animasi Tanah Air, Adit berpendapat, “Animasi kita masih kalah jauh dari Korea, China, dan India; tapi bisa mengungguli negara-negara tetangga seperti Brunei Darussalam misalnya. Animasi di Indonesia secara industri masih di kategori periklanan. Untuk industri layar lebar atau TV masih banyak PR yang harus dikerjakan.”

Menurut Adit, ada banyak sebab yang membuat industri animasi dalam negeri bergerak lambat. “Animator belum punya pengalaman, pemerintah tidak tahu bagaimana cara membantu mereka, tidak ada asosiasi, masyarakat masih ragu akan kemampuan animator indonesia, begitu juga investornya, dan tidak ada badan pemerintahan yang mengerti masalah animasi”, katanya. Intinya, Indonesia masih kurang jam terbang di bidang animasi.

Meski baru beberapa, sudah ada animator dalam negeri yang eksis dan ikut berkiprah dalam projek milik studio animasi luar negeri. Menanggapi itu, Adit mengungkapkan bahwa hal itu adalah inisiatif yang bagus dari pihak swasta. “Cuma, dari sisi nasionalisme, ya sayang saja kalau banyak animator bagus dibajak oleh luar negeri”, katanya. “Tapi kalau memang dari awal misinya hanya sebagai batu pijakan untuk membangun animasi indonesia, itu oke banget.”

Artikel ini dibuat untuk QBHeadlines.com.


Labels: ,

“Business Unusual”, Membangun Bisnis dengan Passion dan Inovasi

Oleh: Restituta Ajeng Arjanti

Arvino Mudjiarto percaya pada kekuatan bisnis sebagai inti dari terciptanya kehidupan yang lebih baik. Ia suka dengan ide tentang “business unusual” yang mengombinasikan bisnis dengan ide, hasrat, brand, kepercayaan, imajinasi, teknologi, dan tanggung jawab sosial untuk menciptakan sebuah produk yang mengagumkan, berbeda, dan inovatif.

Sosok Arvino berdiri di balik penghargaan-perhargaan yang diperoleh PT Worxcode Imagineering Indonesia, sebuah perusahaan pengembang solusi TI di Jakarta yang dibangunnya sejak tahun 2002. Dalam kancah internasional, Worxcode pernah menerima penghargaan sebagai juara 1 CTO Innovation Excellence Award di Asia Pasifik tahun 2006, dan juara 1 Best Consultant & System Solutions di Asia Pasifik tahun 2007. Keduanya diadakan oleh IBM Worldwide. Worxcode juga merupakan perusahaan Indonesia pertama (dan di wilayah ASEAN) yang pernah memenangkan “Oscar” IBM tersebut sebanyak dua kali berturut-turut.

Dalam asuhan Arvino, banyak perusahaan besar yang memercayakan pengerjaan sistem dan integrasinya ke Worxcode. Contohnya adalah Telkom Indonesia, Astra International, Hyundai (Korea), Surveyor Indonesia, Bank Indonesia, Bank Danamon Indonesia, dan Bank Negara Indonesia. Worxcode merancang dan mengembangkan software Knowledge Management, sistem Electronic Document, dan sistem Knowledge Delivery untuk klien-kliennya.

Arvino bukanlah sosok tanpa visi. Ia bercita-cita untuk membawa Worxcode ke dunia yang berbeda dan mempertajam fokus perusahaannya itu dengan cara yang unik. Di rubrik Innovation minggu ini, pada QB Headlines (QB), Arvino (AM) berbagi cerita tentang Worxcode dan mimpi-mimpinya.

QB: Apa core business Worxcode?

AM: Kami menjual “inovasi praktis”. Tujuan kami mendirikan Worxcode sebenarnya adalah untuk menyediakan “new code of working”—cara kerja yang praktis, inovatif, dan penuh passion bagi dunia dan masyarakat global. Nah, dari sinilah nama “worxcode” berasal, dari kata “work's code”.

Saya dan tim mengerjakan projek perancangan dan pengembangan software otomasi untuk industri. Kami pernah mengimplentasikan sistem intranet terluas di wilayah Asia, merancang dan mengembangkan software Knowledge Management, sistem Electronic Document, dan sistem Knowledge Delivery untuk klien-klien kami.

QB: Bagaimana model bisnisnya?

AM: Di awal berdirinya, Worxcode mulai dengan menjalankan bisnis kontruksi dan desain software otomasi. Keduanya menuntut kemampuan para staf dan personil Worxcode—intinya perusahaan secara keseluruhan—untuk terus bersaing dan berkontribusi.

Dalam prosesnya, kami merancang solusi-solusi software yang benar-benar baru, yang kompleks dan belum pernah ada sebelumnya. Kami membangun sistem otomasi, merancang arsitektur sistem, dan mengintegrasikannya bagi klien-klien kami.

QB: Solusi-solusi seperti apa yang ditawarkan bagi klien-klien Worxcode?

AM: Kami selalu berusaha memberikan solusi paling inovatif, menggemparkan, dan punya daya tarik—solusi yang “tiada duanya”, yang menawarkan kemudahan. Meski simpel, solusinya sebisa mungkin harus menarik, cerdas, dan punya nilai kesempurnaan.

QB: Apa hal yang menurut Anda menarik dari pekerjaan dan bisnis Anda?

AM: Ada dua hal yang menurut saya menarik. Pertama, kami menjalankan bisnis kami dengan passion. Kami melakukan hal-hal yang berbeda. Dan, kami tidak menjalankan bisnis yang “biasa” seperti yang orang lain tahu sebagai “ini nih cara menjalankan bisnis sejak jaman dulu”. Sejak hari pertama Worxcode berdiri, kami memilih inovasi, daya khayal dan imajinasi, dan penerapannya ke masyarakat luas sebagai lahan kerja dan misi kami.

Kami—mungkin, meminjam ungkapan dari founder Body Shop, Anita Roddick—adalah sebuah “business unusual”. Kami cukup tahu kapasitas kami adalah untuk bersaing, kami tahu hasrat kami adalah untuk berinovasi, dan kami menjalankan itu sebagai sebuah bisnis. Seperti kata Alan Kay, “The best way to predict the future is to invent it”. Nah, kami benar-benar memasukkan kata-kata itu ke dalam hati. Bisnis kami adalah bisnis yang penuh hasrat, “passionate business”.

Hal menarik yang kedua, kami menjalankan bisnis untuk memajukan masyarakat secara luas. Saya selalu ingat hari itu, 20 Februari 2002, pukul 20.02, saat di mana kami meluncurkan dan mulai menjalankan perusahaan ini. Sambil makan malam, saya bertanya pada diri saya sendiri, apa sih tujuan dan alasan sebuah bisnis (baru) diciptakan? Kenapa saya membangun Worxcode sebagai sebuah perusahaan? Perjalanan yang akan saya lalui bersama Worxcode tentunya akan menjadi perjalanan panjang yang penuh passion. Dan jawaban ini terlintas di benak saya, “Satu-satunya alasan tepat mengapa sebuah perusahaan dilahirkan adalah agar satu saat nanti perusahaan itu dapat berkontribusi bagi kebaikan masyarakat luas”.

Saya sampaikan pendapat tersebut ke teman saya, dan sejak saat itu, pemikiran tersebut menjadi panduan kami untuk menjalankan bisnis.

QB: Di blog, Anda banyak berkomentar mengenai desain. Menurut Anda, seberapa besar kekuatan desain terhadap sebuah produk? Lalu, bagaimana efek desain terhadap nilai perusahaan penciptanya?

AM: Kami percaya, pada dasarnya ada hanya ada 2 jenis produk: produk yang diciptakan dengan passion dan produk yang membosankan.

Produk yang dirancang dengan apik, tanpa dapat dijelaskan, memiliki aura magis yang merefleksikan bahwa produk tersebut dibuat sebagai inovasi, sebagai sesuatu yang dibuat dengan passion, keahlian, dan kesungguhan penciptanya. Makanya hasilnya sempurna. Sebaliknya, produk dengan desain yang payah akan terlihat membosankan dan biasa saja. Mungkin orang yang melihatnya akan berpikir, kenapa sih ada orang yang mau membuatnya lalu menjualnya.

Menurut saya, desain yang menarik merefleksikan hasrat si pencipta produk, keinginannya untuk berinovasi, dan daya khayalnya. Detail yang rumit dan cermat akan membuatnya tampak bagus. Yang jelas, produk dengan desain hebat akan memancarkan aura mengagumkan yang menyentuh hati orang.

QB: Bisa menyebutkan contoh produk yang menurut Anda bagus dan inovatif?

AM: Menurut saya, produk-produk Sony—terutama saat perusahaan itu masih dipimpin oleh sang founder Akio Morita—termasuk yang hebat, yang bisa jadi kesayangan industri elektronik dunia. Contohnya Walkman, handycam, dan desain Sony compo. Semuanya membuat orang kagum dan takjub, makanya produk-produk itu akan terus dikenang.

Contoh produk inovatif berdesain bagus yang bisa kita lihat saat ini adalah produk-produk Apple—bisa bikin kita “panas-dingin” dan penasaran untuk memilikinya. Lihat saja—iPod Touch dan software yang ditanam di dalamnya, MacBook Air yang super tipis dan super ringan, dan desain Mac OS yang terbaru—semua menarik perhatian. Kita menyukainya!

Kembali ke pertanyaan sebelumnya, mengenai efek desain terhadap perusahaan pembuatnya, menurut saya, produk dengan desain hebat akan memenangkan pasar. Produk-produk ini—kita sadari atau tidak—seharusnya membuat masyarakat hidup dengan lebih baik, dan merasa gembira dan bangga karena memilikinya. Pada akhirnya, itu akan membuat perusahaan yang memroduksinya menjadi hebat dan bernilai tinggi pula.

QB: Menurut pendapat Anda, bagaimana persaingan di industri software saat ini? Apa yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk tetap bertahan?

AM: Persaingan bisnis saat ini demikian ketat. Untuk tetap bertahan, perusahaan harus memiliki daya inovasi, imajinasi, dan kesempurnaan sebagai inti bisnisnya. Kontribusi ke masyarakat juga perlu selalu dilakukan. Cobalah untuk selalu menjalankan bisnis yang jujur dan dengan passion. Apapun yang terjadi, jangan pernah berbuat curang.

QB: Bisa tidak bercerita tentang projek yang sedang Anda tangani, dan inovasi seperti apa yang Anda masukkan ke dalamnya untuk menghasilkan sesuatu yang “tak biasa”?

AM: Kami masih terus menjalankan bisnis perancangan dan pengembangan software otomasi. Tahun ini kami ingin mencapai penetrasi pasar. Sayangnya, kami belum bisa bercerita tentang projek yang kami tangani sekarang—sama seperti kita tidak boleh mengumbar rencana kita, kan? Yang pasti, kami masih menjalankan hal yang kami sukai, yang membuat kami bangga menjadi bagian di dalamnya.

QB: Apa mimpi masa depan Anda—untuk diri sendiri, dan bisnis Anda?

AM: Saya, juga Worxcode, ingin sekali melihat lebih banyak kontribusi bisnis di Indonesia bagi masyakarat. Pasti hebat sekali jika kita bisa melihat bisnis-bisnis di dalam negeri mampu menjadi jantung bagi pengembangan industri global, bukan melihatnya tertinggal dari negara lain.

Kami ingin sekali melihat inovasi, imajinasi, dan kesempurnaan menjadi trademark perusahaan-perusahaan Indonesia. Kami juga ingin sekali satu saat nanti perusahaan Indonesia bisa menjadi “truly Asia Global company” yang punya ciri khas Indonesia, dan terdiri dari orang-orang bisnis yang cerdas, bijaksana, dan jujur. Dengan begitu, kita bisa menciptakan dunia yang lebih baik, memberikan hal-hal positif dalam kehidupan banyak orang, dan melaju ke dunia global.

Untuk diri kita sendiri, kita bisa bekerja keras sambil menikmati pekerjaan kita. Siapa tahu, satu saat nanti, kita bisa melahirkan “Sony” dan “Apple” Asia, perusahaan software Asia yang dihargai dan dicintai, juga brand yang mendapatkan tempat di hati banyak orang.

Artikel ini dibuat untuk QBHeadlines.com.



Labels: ,

Inacraft 2008, Gudang Budaya dan Kreasi Indonesia

Oleh: Restituta Ajeng Arjanti

Sejak hari pertama dibuka di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu (23/4), pameran dagang produk kerajinan terbesar di Indonesia berskala internasional, “Jakarta International Handicraft Trade Fair (Inacraft) 2008” sudah menyedot banyak pengunjung. Ini membuktikan besarnya perhatian masyarakat terhadap produk-produk kerajinan tangan.

Diminati

Memasuki JCC yang dipadati oleh para perajin dan pengusaha produk kerajinan khas Indonesia kita bak masuk ke dalam sebuah gudang budaya yang kaya seni dan kreativitas. Betapa tidak, beragam kreasi seni yang menarik—dari Sabang sampai Merauke—dipajang di sana. Mulai dari pernak-pernik mungil berharga ringan, makanan asli Indonesia, sampai perhiasan dan produk interior rumah berharga jutaan rupiah dipajang di sana.

Pameran dagang ini memang merupakan ajang promosi para pengusaha kreatif Tanah Air. Perajin batik asal Yogya, Solo, Pekalongan; perajin kerang mutiara Lombok dan Maluku, perajin porselen, kerang mutiara, perak, kulit, keramik, tembikar, dan ukiran kayu; serta masih banyak lagi, menggelar produk dagangan mereka di sana.

Bukan hanya jumlah peserta Inacraft tahun ini yang bisa dibilang “wah”. Pengunjung pameran pun―tak hanya dari Jakarta, tapi juga dari luar kota dan luar negeri―membludag, membuat lorong-lorong tempat berjalan kaki bak gang senggol. Hal itu bisa dimaklumi, “surga budaya” itu hanya digelar selama 5 hari, tanggal 23-27 April 2008. Bisa Anda bayangkan, jika di hari pertama saja pengunjungnya sudah begitu banyak, bagaimana padatnya suasana Inacraft di akhir pekan?

Dilihat dari target pembeli, dibandingkan dengan pameran-pameran lain yang juga sering diadakan (seperti pameran otomotif dan komputer), Inacraft memang menyasar lebih banyak segmen. Anak muda, orang tua, penggemar pernak-pernik unik penghias kamar tidur dan ruang tamu, pecinta kerajinan perak, batik, atau lainnya bisa menikmatinya. Bagi orang-orang yang sekadar ingin window shopping, calon pengusaha kreatif yang ingin mencari inspirasi, atau orang-orang yang memang punya niat menghabiskan uangnya, Inacraft juga menarik untuk disambangi.

Pemerintah Dukung UKM

Inacraft 2008 adalah Inacraft ke-10 yang digelar di Jakarta. Selain bertujuan untuk mendorong pertumbuhan produk kerajinan para pengusaha kecil dan menengah (UKM) untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam dan luar negeri, Inacraft juga diadakan untuk mendukung usaha pemerintah dalam menciptakan ekonomi kreatif nasional.

Saat membuka Inacraft 2008, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menyemangati para perajin nasional untuk memanfaatkan semua peluang yang ada, serta tetap optimis dan belajar untuk meningkatkan daya saing mereka.

Mendukung pernyataan Mendag, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, “Jika industri kerajinan meningkat, ekonomi kreatif meningkat, ekonomi negara meningkat, sektor riil meningkat, maka pengangguran akan menurun, dan kemiskinan akan menurun.”

Untuk menyemangati para perajin, Presiden memuji produk kerajinan Indonesia yang menurutnya tak kalah dibandingkan dengan negara lain, bahkan lebih baik. Ia menyampaikan, tahun 2007, industri kreatif Tanah Air memberi sumbangan sebesar Rp105 triliun pada pendapatan negara. Pertumbuhannya yang hampir 20 persen berhasil menyerap 5 juta tenaga kerja baru. Sementara, industri perhiasan naik lebih tajam dengan kontribusi nominal kira-kira mencapai Rp9 triliun. Karena itulah, ia mengajak para perajin untuk meningkatkan mutu dan desain produk-produk kerajinannya dengan memadukan seni dan teknologi.

Dalam kesempatan itu, Presiden juga mengajak para perajin untuk mengembangkan usaha dan terus berinovasi membuat kerajinan-kerajinan baru agar bisa menciptakan lapangan kerja serta mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Pun ia berpesan agar para perajin tak hanya fokus pada pasar ekspor, tapi juga pasar dalam negeri.

Bicara soal dukungan modal bagi UKM, SBY mengatakan bahwa pemerintah telah mengalirkan dana untuk koperasi, dan para pengusaha kecil bisa memanfaatkan kredit tanpa agunan.

Jika diperhatikan, di Inacraft, dukungan pemerintah ini juga bisa dilihat pada beberapa booth peserta UKM yang mengikuti Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) beberapa perusahaan besar seperti Pertamina, Antam, dan Bank Mandiri. Program kemitraan ini diadakan untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil—baik di bidang pemodalan, pelatihan, dan promosi produk.

Apa Anda sempat menyambangi Inacraft 2008? Atau mungkin setelah menonton gelarannya Anda terinspirasi untuk menjadi pengusaha kreatif? Kalau iya, sepertinya Inacraft memang betul efektif untuk mengembangkan pasar kreatif nasional. Setidaknya, dari sana, wacana pengunjung tentang ragam industri kreatif dalam negeri menjadi lebih terbuka.

Wanted: Kreasi Ramah Lingkungan


Isu global warming yang tengah mengemuka juga diangkat dalam pembukaan Inacraft 2008. Kondisi dunia yang kini tengah menghadapi krisis energi dan pangan membuat Presiden SBY mengajak para pelaku industri kreatif untuk menciptakan ekonomi yang peduli lingkungan dengan mengembangkan kreativitas bangsa, serta mengangkat sejarah dan peradaban bangsa.

Ayo kita bicara soal industri ramah lingkungan. Saat ini, sudah ada beberapa contoh industri kreatif ramah lingkungan. Kita ambil industri batik Kampung Wisata Batik Kauman Solo sebagai contoh. Mereka, beserta dengan litbangnya, sudah mengembangkan proses pewarnaan alam untuk diterapkan pada kain—istilahnya natural coloring.

Natural coloring—biasanya dipakai untuk menghasilkan warna batik yang soft—menggunakan bahan pewarna dari alam seperti dari batang pohon, daun, akar, atau buah-buahan. Ketimbang pewarnaan dengan bahan kimia, pewarnaan alami lebih baik karena sampahnya mudah diurai oleh lingkungan.

Sekarang, yang jadi pertanyaan adalah: bukankah menggunakan bahan alami seperti tanam-tanaman juga akan menghabiskan sumber daya alam? Nah, untuk tetap menjadi sahabat lingkungan, tentu akan sangat baik jika para perajin—yang memanfaatkan sumber daya alam apapun untuk produksinya—juga mau “go green” dengan melakukan penanaman pohon.


Artikel ini dibuat untuk QBHeadlines.com.








Labels: ,

Sunday, January 11, 2009

Google, Mantap Masuki Bisnis Advertising

Oleh: Restituta Ajeng Arjanti

Akusisi jawara mesin pencari Google terhadap perusahaan iklan online DoubleClick jadi berita terhangat dalam bisnis internet pekan ini. Harus diakui, akuisisi tersebut dapat memperlancar jalan Google untuk merangkul dunia periklanan digital.

Setelah melalui beberapa tahap tawar-menawar, juga bersaing dengan Microsoft, Google berhasil memenangkan hati DoubleClick dengan penawaran senilai 3,1 miliar dolar AS. Pro dan kontra muncul menyusul keputusan tersebut. Ada banyak pihak yang menyatakan keberatan dan mempermasalahkan kemungkinan Google akan mendapatkan terlalu banyak data mengenai aktivitas online banyak orang. Namun ada juga pendapat positif yang menyatakan bahwa akuisisi tersebut hanya akan menjadi bagian kecil dari beragam bisnis yang Google jalankan.

“DoubleClick membuat Google menjadi pemain yang lebih kredibel di segmen iklan display”, begitu komentar analis industri Greg Sterling dari Sterling Market Intelligence. Satu hal yang pasti dari akusisi ini, DoubleClick akan menjadi aset baru Google yang akan meragamkan bisnisnya.

Ancaman bagi Yahoo dan Microsoft

Akuisisi ini, yang berarti bahwa Google akan mengambil alih perusahaan yang menempatkan miliaran iklan per hari ke ribuan situs web di seluruh dunia, tentu membuat Yahoo dan Microsoft ‘panas’. Bisnis baru Google, tandem dengan Double Click, berpotensi untuk menggeser posisi Yahoo yang juga tercatat sebagai pemain di bisnis advertising. Microsoft sebagai pemain nomor 3 dalam bisnis internet juga pantas untuk merasa terancam. Pasalnya, hingga kini niatnya untuk menguasai Yahoo pun belum mendapat restu lantaran nilai 44,6 miliar dolar AS yang ditawarkan raksasa software tersebut dianggap masih terlalu kecil.

“Google menguasai DoubleClick jelas akan menambah tekanan bagi Microsoft untuk menyelesaikan tawar-menawarnya dengan Yahoo”, kata analis Rob Enderle dari Enderle Group di Silicon Valley. Meski dominasi Google berpotensi untuk semakin besar, European Union berpendapat bahwa hal itu sepertinya tak akan merugikan konsumen.

Potensi dan Rencana Google

Perusahaan investasi JPMorgan memprediksi bahwa pasar advertising akan meningkat dari 20,8 miliar dolar AS tahun ini menjadi 28,6 miliar dolar AS di tahun 2010 mendatang. Dengan begitu, kesempatan Google untuk mendapatkan profit di semen bisnis barunya juga makin besar.

Selama ini, DoubleClick menyediakan layanan yang memungkinkan para web publisher, pemasang iklan online, dan agen periklanan untuk mempromosikan bisnis mereka lewat iklan digital. Ada dua divisi utama dalam perusahaan tersebut. Divisi Dart menyediakan tools dan berbagai layanan untuk penjualan dan pembelian iklan. Sedangkan divisi Performics bertanggung jawab terhadap pemasaran mesin pencari berdasarkan iklan yang dibayarkan per-klik, hal yang selama ini jadi andalan Google.

Dalam blog resmi Google, CEO Eric Schmidt memaparkan sedikit rencananya untuk DubleClick. “Para pembuat iklan iklan dan publisher yang bekerja dengan kami telah lama meminta kami untuk menggabungkan layanan pencarian dan periklanan berbasis konten”. Sepertinya, Google berencana untuk membuat semacam dashboard iklan online bagi para publisher, pemasang, dan agensi iklan menggunakan platform andalan milik DoubleClick.

Dengan masuk ke bisnis advertising, diversifikasi layanan Google juga bertambah. Saat ini, Yahoo mungkin masih menjadi memimpin dunia online advertising, tapi jika Google dapat menyediakan layanan yang lebih mudah untuk diakses, mereka diprediksi akan dapat memimpin bisnis ini.

Tulisan ini dibuat untuk QBHeadlines.com.


Labels: ,