Monday, January 12, 2009

Web 2.0, Ajang Aktualisasi Diri dan Pengembangan Bisnis

Oleh: Restituta Ajeng Arjanti

Jangan remehkan kekuatan internet. Bayangkan, sudah berapa banyak orang menjadi “besar” karenanya. Selain CEO Google Eric Schmidt dan CEO Yahoo Jerry Yang, sebut saja nama Linus Torvalds si penemu Linux dan pencipta Wikipedia Larry Sanger. Mereka memanfaatkan forum diskusi dan milis di internet untuk memperkenalkan ciptaan mereka, dan mengajak orang lain untuk ikut berkontribusi dalam mengembangkannya. Kini, siapa yang tak kenal Linux dan Wikipedia?

Wajah world wide web terus berevolusi, dan prosesnya berlangsung terus-menerus. Saat ini, kita tengah berada dalam era Web 2.0, era yang menampilkan web sebagai perangkat sosial. Di sini, peran serta para pengguna internet—baik dalam komunitas maupun forum—makin tak bisa lepas dari internet, juga perkembangan bisnisnya. Di sini, semua pengguna internet bisa melihat, berkontribusi terhadap isi internet, dan merasa menjadi bagian dari internet itu sendiri.

Bisnis Jejaring Sosial

Web 2.0 mengandalkan konsep social networking. Bagi para pengguna internet, situs-situs Web 2.0 sangat menarik karena dapat dijadikan ajang aktualisasi diri. Lewat situs layanan blog macam Blogger, Wordpress, dan Multiply misalnya, para pemilik blog (blogger) dapat mencurahkan pikiran dan isi hati mereka. Situs lain, seperti Flickr dan Picassa, menawarkan layanan sharing foto bagi para penggunanya. Sementara YouTube dikenal sebagai situs penyedia layanan sharing video.

Model bisnis yang ditawarkan oleh situs-situs berbasis Web 2.0 terbilang menarik, meski dianggap tak lazim layaknya bisnis tradisional. Kita ambil Facebook sebagai contoh. Situs hangout itu kelihatannya hanya mengumpulkan orang-orang muda yang gemar berbagi foto dan sekadar bergaul di internet. Tapi, coba bayangkan, dengan jumlah pengguna online yang berjumlah puluhan juta—termasuk di dalamnya adalah orang-orang kreatif dan pebisnis yang ingin menjalin relasi—berapa besar potensi yang dimiliki Facebook?

Situs ini mengundang para pengembang aplikasi untuk menawarkan “mainan” buatan mereka—berupa aplikasi-aplikasi kecil yang disebut widgets. Ini, selain mengundang lebih banyak orang untuk bergabung sebagai pengguna, juga menarik para pengembang aplikasi untuk terus berkreasi dan memanfaatkan Facebook sebagai media promosi produk mereka. Potensi Facebook tak berhenti sampai di situ. Aplikasi-aplikasi itu kemudian menjadi magnet bagi para pemasang iklan untuk menyelipkan iklan produk buatannya ke sana. Bisa dilihat, pada akhirnya, inovasi yang dilakukan Facebook di situs Web 2.0-nya tak hanya memengaruhi dunia sosial, tapi juga industri.

Beragam inovasi lain juga dilakukan oleh penyedia layanan situs social networking dan blog untuk tetap eksis di jagat online. Blogger, misalnya, kini sudah melengkapi situsnya dengan dukungan video. Flickr, situs layanan sharing foto milik Yahoo baru saja memperkenalkan layanan video online—bersaing dengan YouTube. MySpace merilis situs bilingual sesuai dengan lokasi akses penggunanya. Contohnya MySpace versi Latin yang dibuat untuk para pengguna MySpace di kawasan Amerika Latin. Selain tampil dalam bahasa Latin, MySpace Latin juga menawarkan konten khas komunitas di wilayah tersebut, seputar sepakbola, artis, dan budaya di sana. Jadi, isinya tak sekadar terjemahan dari versi Inggrisnya.

Populer di Dalam Negeri

Situs-situs social networking luar negeri cukup populer si Tanah Air. Shana Fatina, mahasiswa perempuan pertama yang terpilih sebagai Presiden Keluarga Mahasiswa (KM) ITB periode 2008/2009, bisa mewakili para pengguna layanan blog dan situs social networking untuk memberi testimoni. Saat ini, Mahasiswa jurusan Teknik Industri angkatan 2004 ini terdaftar sebagai pengguna layanan situs Friendster, Flickr, dan Blogger.

“Saya ikutan Friendster supaya bisa ketemu teman-teman lama dan baru, supaya bisa update info dari teman-teman lebih cepat, dan supaya bisa berhubungan dengan teman-teman yang sudah jauh, di luar negeri misalnya”, ujarnya.

Shana mengaku, meski tidak selalu meng-update blognya, tiap hari dia pasti membuka akun Friendster-nya dan singgah ke blog-blog orang (blogwalking). Selain memanfaatkan blog sebagai sarana mencurahkan pikiran, dia pun kerap mencari referensi dan opini dari blog-blog orang. “Asyiknya di blog, kita bisa menuliskan pendapat dan dikomentari orang. Apalagi sekarang, layanan blog juga sudah ditambahi banyak aplikasi.”

Saat mengampanyekan diri sebagai Presiden KM ITB, Shana mengaku juga memanfaatkan Friendster dan blognya. Ia mengganti foto di akun Friendster-nya dengan logo ITB dan menambahkan link situs kampanyenya bersama rekannya, Bagus Yuliantok, ke Friendster dan blognya. Mungkin promosi via Friendster dan blog ini jugalah yang juga membuat mereka meraup 2.182 suara, mengalahkan dua pasangan lainnya.

Bapak Blogger Indonesia, Enda Nasution, juga merasakan manfaat menggunakan layanan dari situs-situs social networking. Dia mengaku, situs-situs tersebut memudahkannya untuk meng-update informasi tentang teman-temannya. Karena itu dia mendaftarkan diri di banyak layanan social networking. Di antaranya Facebook, Friendster, Del.icio.us, Flickr, YouTube, Blogger, Twitter, dan Digg.

Web 2.0 Asli Indonesia

Bagaimana dengan perkembangan Web 2.0 di Tanah Air? Menurut Enda, di dalam negeri, sudah cukup banyak situs berkonsep Web 2.0. Contohnya Moodmills.com, Kronologger.com, Blog.detik.com, Dagdigdug.com. Semua asli Indonesia. Namun, tidak semuanya menggunakan engine buatan sendiri.

Menurutnya, situs-situs itu sudah cukup bagus. Moodmills contohnya, mengangkat ide yang baru, lumayan orisinal, memadukan microblogging dan social networking, serta fokus pada mood pengguna. Meski pembuatnya adalah orang Indonesia, situs itu tak hanya menyasar orang Indonesia. Sedangkan Kronologger, menurut Enda, adalah Twitter versi Indonesia. Yang disediakannya adalah layanan microblogging.

Ditanya tentang situs berita dalam negeri, apakah sudah ada yang mengusung konsep Web 2.0, dia menjawab, “Media sosial belum ada yang serius (dengan Web 2.0), paling yang sudah mulai ada itu fasilitas komen saja—seperti di Detik dan KCM, misalnya. Ada juga beberapa situs yang ingin mencoba-coba membuat Digg ala Indonesia, tapi tidak ramai. Wikimu juga bisa dibilang mewakili Web 2.0, modelnya citizen journalism.”

Web 2.0 memang menawarkan potensi bisnis yang besar. Sayangnya, di Indonesia, belum banyak yang secara serius memanfaatkan situs social networking untuk berbisnis. Hal tersebut disampaikan oleh Enda. “Minimal sebatas untuk mengiklankan produk yang mereka jual, contohnya jualan barang di Multiply.”

Menurut Enda, potensi internet di Indonesia masih terbentur oleh masalah infrastruktur online. “Sistem pembayaran dan sistem pengiriman barang yang terintegrasi masih minim, padahal potensinya ekonominya besar. Tambah lagi, Indonesia merupakan negara kepulauan. Kadang, banyak barang yang tidak masuk ke daerah, padahal barang tersebut justru banyak peminatnya di daerah. Makanya banyak orang daerah yang mampu memilih untuk pergi ke Jakarta atau kota besar lain sekadar untuk belanja”, paparnya.

Web 3.0, Seperti Apa?

CEO Google Eric Schmidt pernah memprediksikan Web 3.0 sebagai sebuah cara baru untuk membangun aplikasi. Aplikasi-aplikasi tersebut punya beberapa karakteristik—ukuran mereka relatif kecil dan dapat berjalan di beragam perangkat, bisa PC atau ponsel. Aplikasi-aplikasi tersebut berkembang dengan cepat dan bisa dikostumasi. Mereka didistribusikan secara viral, terutama lewat jaringan sosial atau email. Konsep Web 3.0 begitu dekat dengan Web 2.0, yakni sebagai sebuah istilah baru di dunia marketing.

Kalau begitu, apakah kita sudah berada di dunia Web 3.0—mengingat Facebook dan beberapa situs layanan jejaring sosial juga sudah dilengkapi dengan beragam widgets untuk menunjang kegiatan gaul para pengguna situsnya?

Ditanya tentang hal ini, Enda Nasution punya pendapat sendiri. Menurutnya, apa yang digambarkan sebagai Web 3.0 itu belum terjadi—minimal dalam arti diadopsi oleh pengguna internet secara luas. “IMHO (in my humble opinion), Web 1.0, Web 2.0, dan seterusnya terjadi sebagai refleksi. Artinya, istilah Web 2.0 baru muncul setelah Flickr, Del.icio.us, Digg, Facebook, dan yang lainnya muncul. Dan, karena ada Web 2.0, maka versi Web yang sebelumnya disebut Web 1.0”, jawab Enda.

“Perubahan Web juga tidak seperti episode TV, tapi terjadi secara gradual dan tersambung. Jadi, wajar jika kemudian orang mengira-ngira jika ada Web 1.0 dan Web 2.0, maka akan ada yang ke-3, ke-4, dan seterusnya. Tapi dalam realitanya, hingga hal yang baru itu terjadi, dan kita bisa berefleksi bahwa itu adalah yang namanya Web 3.0, kita tak akan bisa tahu dengan pasti.”

Merujuk ke prediksi Schmidt tentang Web 3.0, menurut Enda, aplikasi-aplikasi kecil (widgets) yang ada di situs-situs jejaring sosial saat ini bisa jadi merupakan bibit-bibit dari Web 3.0. Tapi, apakah itu akan menjadi aplikasi yang digunakan secara luas oleh orang, dan apakah itu yang nantinya akan disebut sebagai Web 3.0—itu juga masih menjadi pertanyaan.

Artikel ini dibuat untuk QBHeadlines.com.

Labels: ,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home