Sunday, January 11, 2009


Common Room, Jembatan Kaum Kreatif di Paris van Java

Oleh: Restituta Ajeng Arjanti

Kota Kembang Bandung tak hanya jadi gudang factory outlet dan wisata kuliner, tapi juga gudang orang kreatif dan berjiwa seni. Kalau Anda kebetulan sedang mengunjungi Bandung, cobalah singgah ke Common Room, salah satu tempat yang kerap disambangi kaum kreatif Paris van Java. Berlokasi di Jalan Kyai Gede Utama No. 8, Bandung, Common Room berupa ruang kolektif untuk menggelar berbagai kegiatan yang melibatkan publik.

Common Room bisa dibilang sebagai melting pot, medium sekaligus wadah yang mempertemukan beragam individu, komunitas, dan organisasi untuk berdiskusi, berbagi ide, dan berkolaborasi dalam merancang kegiatan bersama. Intinya, organisasi ini dibuat sebagai jembatan penghubung banyak individu dan komunitas dari berbagai latar belakang.

Gustaff H. Iskandar, Ketua Common Room Networks Foundation, bercerita, Common Room berdiri sejak tahun 2003, atas prakarsanya dan 4 orang rekannya—R.E. Hartanto, T. Ismail Reza, Reina Wulansari, dan Tarlen Handayani. Awalnya, mereka berkolaborasi dengan Toko Buku Kecil (Tobucil), namun kini Common Room telah menjadi organisasi yang mandiri dengan nama lengkap Common Room Networks Foundation.

“Berbagai kegiatan yang dikembangkan oleh Common Room pada awalnya merupakan bagian dari kegiatan riset dan pengembangan di bidang seni dan media yang dirintis oleh Bandung Center for New Media Arts, yang terlebih dulu didirikan di Bandung, pada akhir tahun 2001,” jelas Gustaff.

Ruang Kegiatan Inklusif Berbasis Komunitas

Sejak awal, Common Room Networks Foundation ingin melibatkan diri dalam pembentukan jaringan komunitas dari beragam latar belakang. Common Room dibuka sebagai ruang sosial budaya yang inklusif, siapa saja—individu, komunitas, maupun organisasi—dapat terlibat dalam setiap kegiatan di sana. Sebagai contoh, komunitas Jazz dan blogger, klab baca dan klab menyulam kerap menggelar aktivitas mereka di sana.

“Sampai sekarang, kebanyakan yang terlibat dalam kegiatan Common Room adalah anak muda, walaupun ada juga kegiatan yang diselenggarakan untuk anak kecil ataupun ibu rumah tangga”, kata Gustaff. Hampir semua aktivitas dilakukan dengan pendekatan berbasis komunitas dan hubungan pertemanan. Tujuannya agar tiap peserta bisa merasa intim dan terlibat di setiap kegiatan.

Di Common Room, siapapun dapat menggelar kegiatannya, seperti diskusi dan bedah buku, pameran, pemutaran film, konser musik, dan workshop. Ada beberapa yang diadakan secara teratur, ada pula yang diadakan berdasarkan inisiatif publik.

Ini yang menarik dari Common Room: kegiatan-kegiatan yang digelar di sana diadakan secara mandiri oleh para pengunjung. Yang menjadi kuncinya adalah akses dan partisipasi masyarakat.

“Common Room lebih banyak bertindak sebagai fasilitator yang membantu pelaksanaan kegiatan, dan tidak membatasi aspirasi dari empunya kegiatan kecuali ada benturan masalah teknis,” jelas Gustaff. Menurutnya, sekitar 70% kegiatan yang dihelat di sana diadakan secara mandiri oleh para pengunjung dari beragam individu, komunitas, dan organisasi. Sisanya diisi dengan program rancangan Common Room sendiri.

Menurut dia, selain berhak untuk ikut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan, tiap orang juga punya hak yang sama untuk terlibat dalam kegiatan budaya dan menikmati karya seni. Hal itu melandasi berbagai kegiatan yang dikembangkan oleh Common Room untuk meningkatkan akses dan peran serta publik dalam berbagai kegiatan seni, budaya, ilmu pengetahuan, serta teknologi infomasi dan komunikasi.

“Lebih jauh”, Gustaff menambahkan, “Common Room berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya pemberdayaan ekonomi kreatif yang berfondasi pada penguasaan ilmu pengetahuan dan informasi, serta pengembangan kreativitas individu.”

Mendorong Industri Kreatif

Ditanya tentang harapannya terhadap Common Room di masa mendatang, Gustaff menjawab cukup panjang, “Saya ingin Common Room dapat menjadi salah satu elemen yang ikut mendorong terbentuknya komunitas masyarakat inklusif yang memiliki kemandirian dan otonomi di Indonesia. Selain itu, saya juga berharap Common Room dapat ikut menyebarluaskan kesadaran hak sipil di bidang sosial, ekonomi, dan budaya—termasuk prinsip-prinsip kebebasan berpikir dan berekspresi yang berpijak kepada toleransi terhadap keragaman, kemandirian, dan kreativitas individu. Hal ini terutama agar Common Room dapat menjadi platform yang terbuka bagi kegiatan eksperimentasi di bidang kreativitas dan budaya kolaborasi.”

Ia bercita-cita untuk menjadikan Common Room sebagai creative hub, jembatan yang menghubungkan beragam pelaku dunia kreatif, baik di tingkat lokal maupun internasional, adalah cita-cita Gustaff.

Sebelum harapan itu terwujud, masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh Common Room, utamanya adalah keterbatasan sumber finansial karena kebanyakan kegiatan yang mereka selenggarakan bersifat non-profit. “Selain itu, kendala yang terberat adalah rendahnya inisiatif masyarakat yang sepertinya lebih terbiasa untuk menerima barang yang sudah jadi ketimbang ikut terlibat dalam proses kreatifnya.”

Common Room mungkin bukan lembaga yang secara khusus mengembangkan aktivitas industri kreatif. Namun, melalui beragam kegiatan kreatif yang mereka kembangkan—yang melibatkan jaringan kerja sama antarelemen masyarakat, baik di tingkat lokal maupun internasional—mereka membuktikan fokus mereka pada pemberdayaan sumber daya manusia, modal utama yang mendorong terciptanya industri kreatif.

Gambar: farm1.static.flickr.com

*Informasi tentang kegiatan-kegiatan yang dikembangkan dan digelar oleh Common Room dapat dilihat di www.commonroom.info.

Artikel ini ditulis untuk dimuat di QBHeadlines.com.

Labels: ,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home