Monday, January 12, 2009

Akademi Samali, Ruang Belajar Komik Indonesia


Oleh: Restituta Ajeng Arjanti

Saat berkunjung ke toko buku besar, coba Anda perhatikan, salah satu rak yang paling ramai dirubung pengunjung adalah rak berisi komik. Peminatnya tak hanya anak-anak, tapi juga kaum dewasa.

Di tengahnya maraknya serbuan komik impor dan terjemahan dari Jepang, Eropa, dan Amerika, ternyata komunitas pecinta komik Tanah Air terus bergerak. Cobalah singgah ke Akademi Samali untuk melihat kegiatan mereka.

Worshop Komik

Akademi Samali berdiri pada bulan Mei 2005, atas gagasan Hikmat Darmawan, Beng Rahadian, dan Zarki. Bukan tanpa alasan nama tersebut diambil oleh tiga sekawan ini. Kata “akademi” dipakai untuk menjelaskan bentuk aktivitas belajar dalam komunitas yang mereka bentuk, sedang nama “Samali” diambil dari nama jalan yang kerap jadi lokasi berkumpul mereka, yakni kost milik Zarki.

Sejak awal, Akademi Samali memang didirikan sebagai wadah belajar seni gambar dan komik yang berbasis komunitas. Komunitas ini sering menggelar kegiatan “pintar” seputar komik. Misalnya kelas pengembangan naskah komik, klab menggambar bersama, klab komik (kelompok diskusi komik), pameran, dan workshop membuat komik.

Dalam workshop, peserta diajarkan tentang cara menyusun cerita untuk komik, serta cara menggambar dan memroduksi komik secara sederhana. Mereka juga diberikan wawasan mengenai komik dan sistem distribusinya.

Tak berhenti sampai di situ, Akademi Samali, memanfaatkan jaringan yang telah dimilikinya, menggandeng komunitas animasi Lanting untuk mengadakan workshopcomic to animation”. Tujuannya untuk mengembangkan keahlian animasi para pesertanya.

“Selama ini, yang tertarik untuk ikut workshop komik rata-rata berusia 19 tahun ke atas. Kelas workshop tidak kami bagi berdasarkan tingkat keahlian peserta, tapi berdasarkan minat membuat cerita atau minat menggambar,” tutur Beng Rahadian.

Menurut Beng, selama ini biaya mengikuti workshop di Akademi Samali gratis, karena beban biaya sudah ditanggung oleh pihak penyelenggara (sponsor). Karena gratis dan menunggu sponsor, gelaran workshop di sana bersifat tentatif. Karena itulah, ia dan para pengurus akademi berencana untuk menyelenggarakan workshop mandiri yang biayanya dibebankan pada peserta. Jika rencana itu terlaksana, mereka bakal membuka kelas reguler yang murah, ramah, dan santai, dengan periode 3 bulanan per angkatan.

Selain membuka kelas belajar komik, ada sederet program berbobot yang dimiliki oleh komunitas ini, termasuk program perluasan jaringan kerja. Tujuannya antara lain untuk meningkatkan kualitas berkarya para anggota dan apresiasi terhadap hasil karya mereka. Sayangnya, sama dengan yang dialami oleh komunitas-komunitas kreatif lain, urusan biaya masih menjadi kendala terbesar yang menghambat langkah mereka.

Promosi Lewat Pameran

Untuk memromosikan komik dalam negeri pada masyarakat, Beng dan rekan-rekannya di Akademi Samali kerap memanfaatkan ajang pameran. Contohnya, pameran KONDE (Komik Indonesia Satu Dekade) yang mereka gelar, tahun lalu.

Tanggal 9-20 Juni nanti, Akademi Samali akan menggelar pameran “Panggung Visual Akademi Samali” di Japan Foundation, Jakarta. Pameran itu dibuat sebagai sebuah perayaan visual memperingati 3 tahun berdirinya Akademi Samali. Di sana, karya-karya pengurus, anggota, dan para partisipan akan dipajang. Bentuknya berupa karya ilustrasi, foto, dan video animasi. Rencananya, pameran itu bakal disambung ke Semarang, pada 4-10 Juli mendatang.

Sebelumnya, Akademi Samali―bekerja sama dengan beragam komunitas―juga cukup sering mengadakan pameran. Contohnya, April 2008 lalu, Akademi Samali bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Jakarta menjadi co-organizer untuk Pameran Sejarah Komik Indonesia-Prancis dan workshop komik oleh komikus Prancis Stephan Heuet.

Meski usianya masih terbilang sangat muda,
akademi ini sudah pernah meraih penghargaan. April lalu, Akademi Samali menyabet penghargaan sebagai komunitas pengembang komik Indonesia dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Taman Mini Indonesia Indah. Satu lagi, asal Anda tahu, sudah ada komik buatan akademi ini yang terbit secara berkala di Koran Tempo Minggu. Judul komiknya Mat Jagung, dibuat bekerja sama dengan penulis Radhar Panca Dahana.

Komik Dalam Negeri

Bagaimana perkembangan industri komik nasional? Disodori pertanyaan itu, Beng menyatakan, “Perkembangannya baru sebatas eksplorasi visual saja. Gambarnya memang semakin cantik dan bagus, tapi masih kering asupan cerita bermutu.” Ia menilai, hal itu disebabkan belum adanya sinergi mutualisme antara komikus dengan pihak penerbit.

“Dunia komik Indonesia masih menghadapi banyak tantangan untuk maju. Komik yang bagus adalah komik dengan ide cerita serta penuturan alur yang bagus. Kita masih kekurangan keduanya. Banyak komikus kita yang bergantung pada referensi, dan akhirnya malah hanya menjiplak,” lanjutnya.

Menurut Beng, untuk membuat sebuah komik yang menarik, seseorang harus punya mental percaya diri dan tahan untuk tidak menjiplak. Ia juga harus punya kemampuan bercerita dan menceritakan. Untuk mendukung komiknya, akan lebih baik jika komikus melakukan riset dan observasi. Dan satu lagi yang penting, komikus juga harus melek visual, paham tentang dasar menggambar dan punya kepekaan terhadap estetika.

Beng sendiri secara pribadi berharap agar industri komik dalam negeri bisa maju layaknya industri musik lokal saat ini. “Tapi tanpa bajakan, ya,” katanya sambil tertawa.

Klasifikasi Komik

Klasifikasi komik bisa dibedakan berdasarkan genre (jenis cerita), gaya visual, atau berdasarkan mediumnya.

Menurut Beng Rahadian, berdasarkan genre, komik bisa dibagi menjadi komik silat, roman (drama), detektif, petualangan, humor, action, superhero, dan banyak lagi. Berdasarkan gaya visual, ada tiga gaya yang paling populer di dunia, yaitu gaya Amerika, Eropa, dan Jepang. Lalu, berdasarkan mediumnya, komik bisa dibedakan jadi komik buku, komik strip, dan komik digital. Komik strip adalah komik satu baris, seperti yang kerap tampil di majalah atau koran. Sedangkan komik digital berbentuk file―cara produksi dan cara membacanya berbasis teknologi digital, misalnya lewat ponsel, komputer, atau via internet.

Saat ini, pasar sedang marak dengan beragam terbitan komik dan novel grafis. Sebenarnya, apa beda keduanya? “Sama saja sih, hanya novel grafis secara sadar dibuat oleh komikus untuk menjadi karya komik yang punya bobot sastra, atau cerita yang kompleks,” jelas Beng.

Artikel ini dibuat untuk QBHeadlines.com.



Labels: ,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home