Sunday, August 21, 2005

Linux atau Windows, Pilihan di Tangan Pengguna

Linux dan Windows. Keduanya saling bersaing merebut perhatian pasar. Ada banyak orang yang memrediksi Linux akan duduk di posisi pertama mengalahkan Windows. Tapi, apa benar begitu? Kita coba tanya ahlinya. Yanna Dharmasthira, Research Analyst dari Gartner Group Advisory, menyampaikan hasil prediksi yang dilakukan oleh lembaga penelitian tersebut. Hingga tahun 2007 mendatang, kemungkinan besar, Linux akan menggantikan Unix, bukan menggantikan Windows. Sistem operasi mana yang akan mendominasi – apakah Linux atau Windows - prediksinya belum bisa terlihat saat ini.

Open Source vs. Komersil

Sebagai pengguna komputer, kira-kira apa jawaban kita jika ditanya apa yang kita harapkan dari dari sistem operasi? Pastinya keamanan dalam proteksi data, biaya yang rendah, dan downtime seminimal mungkin. Software open source atau komersil, masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Produk Microsoft, misalnya, punya kelebihan di sisi kemudahan penggunaan dan dukungan teknis bagi para penggunanya. Kekurangannya bisa dilihat dari harga lisensi yang relatif lebih mahal dibanding produk open source.

Produk open source, karena kebanyakan dikembangkan oleh komunitas, memiliki fleksibilitas tinggi dan sistem keamanan yang tangguh, serta biaya yang lebih murah – khususnya biaya hardware – karena umumnya software open source tidak membutuhkan spesifikasi hardware yang sangat tinggi. Namun, tidak produk open source adalah gratis, ada juga yang komersil seperti Red Hat Enterprise Linux.

Linux vs. Windows: Keamanan vs. Inovasi

Selama ini, Linux dikenal sebagai sistem operasi yang tangguh – aman dari serangan virus. Virus-virus yang menyerang Linux hanya beredar dalam laboratorium Linux, sebatas bahan percobaan para ahli. Sebaliknya, Windows menjadi target empuk yang diincar virus. Malah bisa dikatakan hampir semua virus memusuhi produk sistem operasi Microsoft tersebut.

Kelebihan Microsoft, untuk saat ini, bisa dilihat dari segi inovasinya. Microsoft punya banyak produk, bukan hanya sistem operasi, tetapi juga berbagai software, produk server, dan aplikasi multimedia lainnya. Tidak semua produknya bersifat komersil – browser Internet Explorer, contohnya. Browser tersebut termasuk freeware – bebas di-download gratis dari Internet, tapi source code-nya tak bisa dilihat (bukan open source).

Menurut Budi Rahardjo, Direktur Pusat Penelitian & Pengembangan Industri dan Teknologi Informasi ITB, Linux sangat cocok bagi kalangan akademis. Murid-murid memiliki akses ke source code dan bisa melakukan eksperimen sendiri – hal ini termasuk inovasi open source di bidang pendidikan. Ia juga berpendapat bahwa Windows merupakan dasar pengetahuan yang harus dimiliki setiap orang. Seseorang yang mengerti Windows, belum tentu mengerti Linux. Tapi, setiap orang yang mengerti Linux, pasti mengerti Windows.

Apakah open source menjadi ancaman bagi Microsoft? “Ya”, kata Peter Moore, Chief Technology Officer, Microsoft Asia Pasifik. “Linux termasuk kompetitor Microsoft untuk bidang pengembangan model bisnis, sama halnya seperti UNIX. Tapi kompetisi kan bagus”, lanjutnya sambil tersenyum.

Open Source Means Free, But Not Always “Free”

Banyak orang menganggap software open source sebagai barang gratis, bisa di-download secara “free” dari Internet, diperbanyak secara “free”, serta “free” untuk diutak-atik dan diubah source code-nya. “Open source means free”. Kalau kalimat tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bisa diperoleh dua arti dengan konteks yang berbeda – open source berarti bebas, dan open source berarti gratis. Jadi, mana yang benar?

Yang dimaksud dengan software open source adalah software yang source code-nya bisa dilihat, dibaca dan bebas diutak-utik oleh publik penggunanya – contohnya adalah Linux, PHP, MySQL, dan Apache Server. Linux saja masih dibedakan ke berbagai macam distro – semua bebas digunakan dan diubah, tapi belum tentu semuanya gratis. Red Hat Enterprise Linux, contohnya. Produk komersil keluaran Red Hat ini merupakan software open source, tetapi tidak gratis. Versi gratisnya sudah dilebur dengan nama lain, Fedora, dan urusan pengembangannya diserahkan pada komunitas Linux. “Yes, our model is open source, but it doesn’t mean it’s free”, begitu ucap Kevin Thomson, Chief Financial Officer Red Hat, mengenai produk komersilnya.

Pengguna software open source bukan hanya user individual atau kalangan akademis, tetapi juga kalangan korporat. Nah, software open source yang berarti gratis lah yang biasanya digunakan oleh user individual dan kalangan akademis. Software semacam ini juga di-built dan dikembangkan oleh komunitas. Bagaimana dengan kalangan korporat? Mereka biasanya menggunakan produk software komersil, tidak mesti bersifat open source asalkan ada dukungan penuh dari vendor yang memroduksinya.

(Restituta Ajeng Arjanti, PCplus, Februari 2004)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home